Selasa, 02 Agustus 2016

KEWIRAUSAHAAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana firman Allah Swt (artinya) : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu. (QS. Al-Maidah 5 : 3). Oleh karenanya Islam adalah sebuah aturan, norma, pola hidup yang melingkupi kehidupan manusia dan menjadi pedoman dalam mengarungi kehidupannya yang selanjutnya pedoman itu dijabarkan dalam fiqih Islam. Sedang fiqih itu sendiri adalah suatu pola hidup yang ditawarkan Islam dalam bentuk pemahaman secara mendalam terhadap hukum dan ketentuan Allah untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Adapun kewirausahaan dalam disiplin ilmu fiqh merupakan bagian pembahasan mu'amalah. Sedangkan perdagangan adalah bahagian dari kegiatan kewirausahaan. Bila kita berbicara tentang kewirausahaan menurut pandangan Islam, maka rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah teori-teori yang telah di gambarkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah sebagai norma dan etika dalam berwirausaha khususnya dalam perdagangan.
Islam juga mengajarkan bagaimana manusia itu giat dalam menjalani aktifitas dan semangat bekerja keras untuk mencari nafkah dan menjawab kebutuhan sehari-hari. Allah SWT, menyeru manusia untuk bertebaran di muka bumi untuk menuntut karunia Allah, dalam hal ini maksudnya adalah rezki Allah. Bahkan Rasulullah pun sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk giat dalam bekerja. Tidak sedikit hadits Rasulullah yang menegaskan tentang hal itu.
Untuk selengkapnya, mari kita cermati paparan isi makalah ini. Bagaimana etika dalam berdagang, motif perdagangan, sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para pedagang, etios kerja seorang muslim (tentang perintah kerja keras).

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan di bahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana konsep rezeki dalam perspektif Al Qur’an?
2. Bagaimana etos kerja dalam ajaran Islam?
3. Bagaimana anjuran berwirausaha dalam Islam?
4. Bagaimana karakteristik kewirausahaan muslim (enterpreneur)?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang tersebut di atas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk menjelaskan konsep rezeki dalam perspektif Al Qur’an.
2. Untuk mengetahui etos kerja dalam ajaran Islam.
3. Untuk menjelaskan anjuran berwirausaha dalam Islam.
4. Untuk mengidentifikasi karakteristik kewirausahaan muslim (enterpreneur).

D. Manfaat Penulisan 
1. Bagi pribadi
Meningkatkan pengetahuan dan wawasan akan ciri dan watak berwirausaha. Selain itu juga, wawasan akan berwirausaha menurut pandangan Islam semakin jelas dan dapat meningkatkan motivasi dalam berwirausaha.
2. Bagi Masyarakat Pembaca
a) Meningkatkan pengetahuan dan wawasan akan kewirausahaan beserta proses-prosesnya.
b) Menumbuhkan dan meningkatkan motivasi untuk mulai dan terus berwirausaha.
c) Meningkatkan pengetahuan akan kewirausahaan menurut pnadangan Islam.



BAB II
PEMBAHASAN
KEWIRAUSAHAAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Konsep rezeki dalam perspektif Al Qur’an

Berwirausaha memberi peluang kepada orang lain untuk berbuat baik dengan cara memberikan pelayanan yang cepat, membantu kemudahan bagi orang yang berbelanja, memberi potongan, dll. Perbuatan baik akan selalu menenangkan pikiran yang kemudian akan turut membantu kesehatan jasmani. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam buku The Healing Brain yang menyatakan bahwa fungsi utama otak bukanlah untuk berfikir, tetapi untuk mengembalikan kesehatan tubuh. Vitalitas otak dalam menjaga kesehatan banyak dipengaruhi oleh frekuensi perbuatan baik. Dan aspek kerja otak yang paling utama adalah bergaul, bermuamalah, bekerja sama, tolong menolong, dan kegiatan komunikasi dengan orang lain.
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang kewirausahaan ini, namun di antara keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat, memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda.
Di dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 100, Allah SWT. berfirman :

يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

Artinya :
Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT. menghimabu hamba-hambaNya yang mukmin agar berhijrah dan meninggalkan kampung halaman untuk menemukan tempat berlindung dan memperoleh rezeki yang banyak. dengan demikian, mereka akan memperoleh kehidupan yang layak.

Dan di dalam surah Hud ayat 6, Allah SWT. berfirman :

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ 

Artinya :
Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya Dijamin Allah rezekinya. Dia Mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.** Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Allah SWT. memberitahu bahwa Dia menjamin memberi rezeki bagi semua makhlukNya, baik ia binatang melata, besar maupun kecil, di darat maupun di laut. Dia mengetahui dimana tempat binatang itu berdiam dan dimana ia menyimpan makanannya. semua itu tercatat di dalam sebuah Kitab yang terang dan nyata (yakni Lauh Mahfudz).
Allah SWT. telah menentukan rezeki tiap-tiap umatNya, namun umat itu sendiri harus berusaha dengan segenap daya dan upayanya untuk meraih dan mendapatkan rezeki tersebut. Dengan berwirausaha, menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan rezeki tersebut sebagai mana dicontohkan oleh baginda Rasulullah dalam hal perdagangan.
Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kamu berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki” (HR. Ahmad).

B. Etos kerja dalam ajaran Islam

Dalam Islam etos kerja kerja lebih dikenal dengan kerja keras, kemandirian (بيده), dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadits yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini, seperti:
1.      Firman Allah SWT :

وقل اعملوا فسيرى الله عملكم...الأيات

Artinya : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu”(Q.S. At-Taubah : 105)

2.      Sabda Rasulullah SAW :

عمل الرجال بيده

Artinya :“Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri” (HR. Abu Dawud)

3.      Sabda Rasulullah SAW :
اليد العليا خير من يد السفلى

Artinya : “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan bahasa yang sangat simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras supaya memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada orang lain. “Manusia harus membayar zakat (Allah mewajibkan manusia untuk bekerja keras agar kaya dan dapat menjalankan kewajiban membayar zakat)”. Oleh karena itu, apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia (rizki) Allah. (Q.S. al-Jumu’ah : 10)

4.      Sabda Rasulullah SAW :
إن طلب الرزق الحلال فريضة بعد فراغ الفرض

Artinya : “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardlu” (HR.Tabrani dan Baihaqi).

Nash-Nahs tersebut di atas jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan hidup mandiri. Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar. Kata rizki memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus resiko.
Kemauan yang keras dapat menggerakkan motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang akan berhasil apabila mau bekerja keras, tahan menderita, dan mampu berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Menurut Murphy dan Peck, untuk mencapai sukses dalam karir seseorang, maka harus dimulai dengan kerja keras. Kemudian diikuti dengan mencapai tujuan dengan orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pintar berkomunikasi. Allah memerintahkan kita untuk tawakkal dan bekerja keras untuk dapat mengubah nasib. Jadi intinya adalah inisiatif, motivasi, kreatif yang akan menumbuhkan kreativitas untuk perbaikan hidup. Selain itu kita juga dianjurkan untuk tetap berdoa dan memohon perlindungan kepada Allah swt sesibuk apapun kita berusaha karena Dialah yang menentukan akhir dari setiap usaha.

C. Anjuran berwirausaha dalam Islam

Pekerjaan berdagang atau berwirausaha mendapat tempat terhormat dalam ajaran Islam, seperti disabdakan Rasullullah SAW. yang artinya :
“Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).
Dalam QS.Al-Baqarah:275 dijelaskan bahwa Allah swt telah menghalalkan kegiatan jual beli dan mengharamkan riba. Kegiatan riba ini sangat merugikan karena membuat kegiatan perdagangan tidak berkembang. Hal ini disebabkan karena uang dan modal hanya berputar pada satu pihak saja yang akhirnya dapat mengeksploitasi masyarakat yang terdesak kebutuhan hidup.
Pekerjaan berdagang adalah sebagian dari pekerjaan bisnis yang sebagian besar bertujuan untuk mencari laba sehingga seringkali untuk mencapainya dilakukan hal-hal yang tidak baik. Padahal ini sangat dilarang dalam agama Islam. Seperti diungkapkan dalam hadis : “ Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli, dan waktu menagih piutang.”
Pekerjaan berdagang masih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang rendahan karena biasanya berdagang dilakukan dengan penuh trik, penipuan, ketidakjujuran. Penyelewengan seperti ini berdampak buruk kepada perdangan, padahal perdangan adalah salah satu usaha dan pekerjaaan Rasulullah SAW.
Bagi umat Islam berdagang lebih kepada bentuk Ibadah kepada Allah swt. Karena apapun yang kita lakukan harus memiliki niat untuk beribadah agar mendapat berkah. Berdagang dengan niat ini akan mempermudah jalan kita mendapatkan rezeki. Para pedagang dapat mengambil barang dari tempat grosir dan menjual ditempatnya. Dengan demikian masyarakat yang ada disekitarnya tidak perlu jauh untuk membeli barang yang sama. Sehingga nantinya akan terbentuk patronage buying motive yaitu suatu motif berbelanja ketoko tertentu saja.

D. Karakteristik kewirausahaan muslim (enterpreneur)

Sebagai wirausahawan muslim harus memperhatikan beberapa etika dan perilaku terpuji dalam perdagangan. Menurut Imam Ghazali, ada 8 sifat dan perilaku yang terpuji dalam perdagangan, yaitu :
1. Sifat Takwa, Tawakkal, Zikir, dan Syukur
Sifat ini harus dimiliki oleh wirausahawan karena dengan sifat-sifat itu kita akan diberi kemudahan dalam menjalankan setiap usaha yang kita lakukan. Dengan adanya sifat takwa maka kita akan diberi jalan keluar penyelesaian dari suatu masalah dan mendapat rizki yang tidak disangka. Dengan sikap tawakkal, kita akan mengalami kemudahan dalam menjalankan usaha walaupun usaha yang kita jalani memiliki banyak saingan. Dengan bertakwa dan bertawakkal maka kita akan senantiasa berzikir untuk mengingat Allah dan bersyukur sebagai ungkapan terima kasih atas segala kemudahan yang kita terima. Dengan begitu, maka kita akan merasakan tenang dan melaksanakan segala usaha dengan kepala dingin dan tidak stress.
2.      Tidak mengambil laba lebih banyak.
Membayar harga yang sedikit lebih mahal kepada pedagang yang miskin. Memurahkan harga dan memberi potongan kepada pembeli yang miskin sehingga akan melipatgandakan pahala. Bila membayar hutang, maka bayarlah lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan. Membatalkan jual beli bila pihak pembeli menginginkannya. Bila menjual bahan pangan kepada orang miskin secara cicilan, maka jangan ditagih apabila orang tersebut tidak mampu membayarnya dan membebaskan ia dari hutang apabila meninggal dunia.
3.      Jujur
Dalam suatu hadist diriwayatkan bahwa :”Kejujuran akan membawa ketenangan dan ketidakjujuran akan menimbulkan keragu-raguan.”(HR. Tirmidzi).
Jujur dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan orang lain maka akan membuat tenang lahir dan batin.
4.      Niat Suci dan Ibadah
Bagi seorang muslim kegiatan bisnis senantiasa diniatkan untuk beribadah kepada Allah sehingga hasil yang didapat nanti juga akan digunakan untuk kepentingan dijalan Allah.
5.      Azzam dan bangun Lebih Pagi
Rasul saw mengajarkan agar kita berusaha mencari rezeki mulai pagi hari setelah shalat subuh. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa :
”Hai anakku, bangunlah!sambutlah rizki dari Rabb-mu dan janganlah kamu tergolong orang yang lalai, karena sesungguhnya Allah membagikan rizki manusia antara terbitnya fajar sampai menjelang terbitnya matahari.”(HR. Baihaqi).
6.      Toleransi
Sikap toleransi diperlukan dalam bisnis sehingga kita dapat menjadi pribadi bisnis yang mudah bergaul, supel, fleksibel, toleransi terhadap langganan dan tidak kaku.
7.      Berzakat dan Berinfak
Hadits Rasulullhah :
Artinya :“Tidaklah harta itu akan berkurang karena disedekahkan dan Allah tidak akan akan menambahkan orang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seorang yang suka merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”(HR. Muslim).
Dalam hadist tersebut telah diungkapkan bahwa dengan berzakat dan berinfak maka kita tidak akan miskin, melainkan Allah akan melipat gandakan rizki kita. Dengan berzakat, hal itu juga akan membersihkan harta kita sehingga harta yang kita peroleh memang benar-benar harta yang halal.
8.      Silaturahmi
Dalam usaha, adanya seorang partner sangat dibutuhkan demi lancarnya usaha yang kita lakukan. Silaturrahmi ini dapat mempererat ikatan kekeluargaan dan memberikan peluang-peluang bisnis baru. Pentingnya silaturahmi ini juga dapat dilihat dari hadist berikut :
Artinya :”Siapa yang ingin murah rizkinya dan panjang umurnya, maka hendaklah ia mempererat hubungan silaturahmi.”(HR. Bukhari).










BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berwirausaha adalah merupakan kegiatan sosial yang dapat membantu sesama makhluk yang saling ketergantungan antara satu sama lain. Islam sangat menganjurakan manusia untuk berusaha memperoleh rezki yang telah Allah janjikan dengan jalan usaha. Diantara sekian banyak cara dalam berwirausaha, perdagangan adalah salah satunya yang juga merupakan dunia usaha yang pernah ditekuni oleh Rasulullah SAW. Beliau telah memberikan contoh terhadap ummat bagaimana pedagang itu semestinya. Bahkan dalam Al-Quran secara tidak langsung telah dituangkan tuntunan dalam bemuamalah khususnya dalam perdagangan.
Semangat berwirausaha telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beliau sejak muda telah berwirausaha dari menggembala kambing hingga berdagang ke negeri Syam. Semangat dan kerja keras Beliau menjadi panutan dan motivasi bagi kaum muslimin untuk senantiasa mengais rezeki dengan jalan berwirausaha.
Disamping berdagang adalah untuk menjawab kebutuhan ekonomi, bahkan  berwirausaha sangat dianjurkan dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).
Namun demikian, sepantasnyalah seorang pedagang melestarikan sifat-sifat terpuji seperti yang dikemukan oleh Imam Al-Ghazali, yaitu : sifat taqwa, zikir dan syukur, tidak mengambil laba secara berlebihan, sifat jujur, niat untuk ibadah, azzam dan bangun lebih pagi, toleransi, silaturrahim, dan sebagainya.

B. Saran

Tidak dapat kita pungkiri, bahwa tuntutan ekonomi sering membawa kesenjangan dalam berbagai hal menyangkut perdagangan. Tidak jarang pedagang yang melakukan kecurangan dalam berdagang, serta melanggar etika-etika perdagangan yang telah di ajarkan oleh Alla dan RasulNya. Disamping itu, ada pula orang yang pesimis dalam berusaha dan bekerja. Sementara Allah dan RasulNya sangat mencintai orang-orang yang giat dalam bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh sebab itu, melalui makalah ini kami menyarankan kepada para pembaca agar mempedomani Al-Quran dan Hadits serta berpedoman kepada disiplin ilmu fiqih tentang tata cara bermuamalah.
Menyarankan kepada para wirausaha untuk meluruskan niat dalam berusaha agar usaha yang digeluti bernilai ibadah, sehingga tidak hanya mendapat imbalan renzi yang mulia, tetapi juga mendapat imbalan pahala disisi Allah.

















DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Peterjemahan al-Qur’an, 1983)
Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid Dan Terjemahannya, Bandung : PT. Syaamil Cipta Mulia.
Muhammad as-Sayyid Yusuf, Ahmad Durrah, Manhaj al-Quran al-Karim fi Islah al-Mujtama’, Qasas al-Ilm fi al-Quran, Mesir : Dar as-Salam Maktabah al-Usrah, t.t., terj : Abu Akbar Ahmad, Pustaka Pengetahuan Al-Quran, Edisi Indonesia : PT. Rehal Publika.
Syamsu Yusuf, Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, cetakan pertama, 2007.
Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Surabaya : PT. Bina Ilmu, cetakan keempat, 2004.










BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
        Falsafah atau pandangan hidup secara fundamental, dipahami sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai normative ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernitas senantiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.
         Setiap daerah atau suku pasti memiliki pandangan hidup masing-masing dengan berpedoman kepada adat istiadatnya. Untuk itu, pada kesempatan ini kami menyusun makalah yang berjudul pandangan hidup masyarakat bugis. Karena kami selaku masyarakat bugis, tidak sahlah jika kami tidak mengetahui seluk beluk masyarakat bugis itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
         Mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Seperti apakah pandangan hidup masyarakat bugis ?
2. Apakah pandangan hidup masyarakat bugis berkaitan erat dengan adat istiadatnya ?
3. Apakah pandangan hidup itu akan terus eksistensi ? Dan faktor apa yang akan membuatnya terus eksistensi ?






BAB II
PEMBAHASAN
                Falsafah atau pandangan hidup masyarakat orang bugis sangat berkaitan erat dengan adat istiadatnya. Karena bagi mereka dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin, serta dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandangan hidup bermasyarakat. Contoh adat istiadat masyarakat bugis yang mereka jadikan sebagai pandangan hidup, seperti pengaderrang, siri’ na pacce, serta rumah panggung kayu (rumah tradisional bugis). Dalam membangun rumah punggung kayu tersebut terdapat nilai-nilai atau pandangan hidup di dalamnya, setiap bagian rumah tersebut memiliki makna tertentu yang diyakini oleh masyarakat Bugis. Berikut penjelasannya secara terperinci.
A. Pengaderrang
Pengaderrang sebagai pandangan hidup masyarakat bugis. Masyarakat bugis di masa lampau telah memiliki sederet nama orang bijak yang banyak mengajari masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini tercermin melalui catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia bugis sejak dahulu, merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan secara dikotomik dari pengamalan aplikatif pengaderrang.
           Makna pengaderrang dalam konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana sesorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan hidup. Demikian melekat kentalnya nilai ini di kalangan orang Bugis, sehingga dianggap berdosa jika tidak melaksanakannya.
          Dalam konteks ini, inklusif di dalamnya ade’ (ada, Makasssar) atau adat istiadat, yang berfungsi sebagai pandangan hidup (way of life) dalam membentuk pola pikir dan mengatur pola tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu, dalam sistem sosial masyarakat Bugis, dikenal ade’ (adat), rapang (undang-undang), dan bicara (bicara atau ucapan), serta sara atau hukum berlandaskan ajaran agama.

1. Asas pengaderrang
          Pengamalan secara aplikasi implementatif, pengaderrang sebagai falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4(empat) asas sekaligus pilar yakni :
1) Asas mappasilassae
Yakni memanifestasikan ade’ bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku memperlakukan dirinya dalam pengaderrang.
2) Mappasisaue
Yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Asas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen.
3) Mappasenrupae
Yakni mengamalkan ade’ bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang.
4) Mappalaiseng
Yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar tehindar dari masalah (chaos) dan instabilitas lainnya.
2. Eksistensi nilai pengaderrang
         Pentingnya peran adat (ade’) sebagai falsafah hidup, diantaranya tercermin melalui kalimat : ”Maradeka To WajoE Adenami Napopuang” (hanya tanah atau negeri yang abadi yang siempunya tanah merdeka semua, hanya adat yang mereka pertuan). Hal ini sejak lama menjadi prinsip dan kewajiban dalam kontrak social antar Arung Matowa (raja) dengan rakyatnya.
        Eksisnya nilai sosio kultural yang terkandung dalam pengaderang, sehingga tetap bertahan dan menjadi pandangan hidup manusia Bugis disebabkan dua faktor :
1) Bagi manusia Bugis yang telah menerima adat secara total dalam kehidupan sosial budaya atau lainnya, konsisten atau percaya dengan teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin.
2) Implementasi dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandanga hidup bermasyarakat.

            Falsafah orang bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola perilaku, sebagian dapat kita temukan melalui “Lontarak Pammulanna Wajo” yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung : “Padecengiwi bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e, Gau-gau lalo tengnga-e, Pari tenggai bicara ri tengnga-e”. Pesan ini bermakna perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat, gerak langkah sederhana atau tidak angkuh dan tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah, tidak melebihi, tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya.
            Uraian mengenai pesan Puang ri Maggalatung tersebut pada gilirannya menjadi pedoman hidup orang bugis dalam beraktivitas. Dalam kehidupan bermasyarakat Bugis Wajo, mengenal konsep :
Sipakatau (memanusiakan sesama)
Sipakalebbi (saling memuliakan)
Sipakainge (saling mengingatkan)
B. Siri’ na Pacce
1. Pengertian Siri’ na Pacce
Nilai filosofis siri’ na pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis Makassar.
Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tanah Toraja) ada sebuah istilah yang mencerminkan identitas serta watak orang Sulawesi selatan, yaitu Siri’ na Pacce.
Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Pengertian Siri’ na Pacce Laica Marzuki (1995) pernah menyebut dalam disertasinya bahwa Pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri menentukan ada tidaknya Siri’.
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral. Siri’ na Pacce (bahasa Makassar) atau Siri’ na Pesse (bahasa Bugis) adalah dua kata yang tidak dapat di pisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apa bila seseorang kehilangan Siri’nya (de’ni gaga siri’na), maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu “sirupai olo’ kolo-e” (seperti binatang). Petuah Bugis berkata “Siri’mi na rituo” (karena malu kita hidup).
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam (dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan). Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain.
Sedangkan Pacce / Pesse merupakan konsep yang membuat suku ini mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan diperantauan serta disegani. Pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras.
2. Asal mula Siri’ na Pacce
Menurut Iwata (Peneliti dari Jepang), pada mulanya, Siri’ na Pacce merupakan sesuatu yang berkaitan kawin lari. Yakni jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan Siri’ dan membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan kemudian disebut “Tumasiri”, yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari). Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya yang kemudian disebut abajik. Jika ini belum dilakukan, maka status Tumasiri tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika abajik sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari tadi secara hukum adat sudah terlindungi.
Inti budaya Siri’ na Pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena Siri’ na Pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah dan ideology Siri’ na Pacce, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka menjadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.
Konsep Siri’ na Pacce bukan hanya dikenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghunu daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideology dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi.
3. Jenis-jenis Siri’
Zainal Abidin Farid (1983) membagi Siri’ dalam dua jenis :
1) Siri’ nipakasiri’
Yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak, ia akan disebut mate siri’ (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya daripada hidup tanpa Siri’.
Mereka terkenal di mana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut “Mate nigollai, Mate nisantangi” artinya mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.
2) Siri’ masiri’
Yaitu pandangan hidup yang bermaksud mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok.
Ada ungkapan bugis  “Narekko sompe’ko, aja muancaji ana’guru, ancaji punggawako” (kalaukamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin).
4. Nilai-nilai Siri’ na Pacce
Nilai filosofis Siri’ na Pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan.
Nilai etis Siri’ na Pacce terdapat nilai-nilai etis meliputi :
1) Teguh pendirian
2) Setia
3) Tahu diri
4) Berkata jujur
5) Bijak
6) Merendah
7) Ungkapan sopan untuk sang gadis
8) Cinta kepada orang tua ,dan
9) Empati
Nilai estetis Siri’ na Pacce meliputi :
1) Nilai estetis siri’ na pacce alam non insan, terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan alam hewani.
2) Nilai estetis siri’ na pace alam insane.
5. Etos Siri’ na Pacce
Sultan Hasanuddin
Di dalam sebuah syair sinrilik ada sebuah semboyan kuno masyarakat Bugis Makassar yang berbunyi “ Takunjunga banging turu, nakugunciri gulingku, kualleangga tallanga natoalia “. Syair tersebut berarti, Layarku telah ku kembangkan, kemudiku telah kupasang, kupilih tenggelam dari pada melangkah surut. Semboyan tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis Makassar memiliki tekad dan keberanian yang begitu tinggi dalam menghadapi kehidupan. Masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai orang-orang yang suka merantau atau mendatangi daerah lain dan sukses di daerah tersebut.
Yang membuat orang  Bugis-Makassar dikenal sebagai pribadi yang pemberani dan tangguh serta dapat sukses di daerah sendiri atau daerah yang didatanginya tiada lain adalah etos Siri’ na Pacce. Para pemimpin yang berasal dari  tanah Bugis-Makassar menerapkan etos ini sebagai gaya kepemimpinan mereka.
Siapa yang tidak kenal dengan Sultan Hasanuddin. Beliau adalah raja Gowa XVI. Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah berani melawan penjajah Belanda.
Syek Yusuf
Adapula putra Bugis-Makassar yang bernama Syek Yusuf. Walaupun putra asli Bugis-Makassar, beliau lebih dikenal sebagai penyebar agama Islam di beberapa Negara seperti Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di Negara benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan. Bahkan menjadi semacam acara kenegaraan.
C. Rumah Panggung Kayu  
Rumah panggung kayu adalah salah satu rumah tradisional Bugis yang berbentuk persegi empat memanjang ke belakang. Konstruksi bangunan rumah ini di buat secara lepas-pasang (knock down) sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Konsep empat persegi panjang ini, bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman dahulu tentang bagaimana memahami alam semesta secara universal. Dalam falsafah dan pandangan hidup mereka terdapat istilah “ Sulapa’ Eppa “ yang berarti persegi empat, yaitu sebuah pandangan dunia empat sisi yang bertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal dalam mengenali dan mengatasi kelemahan manusia ( Elizabeth Morell,2005 :204 ). Menurut mereka, segala sesuatu baru dikatakan sempurna dan lengkap jika memiliki Sulapa’ Eppa. Demikian pula pandangan mereka tentang rumah, yaitu sebuah rumah akan dikatakan “ Bola Genne’ “ atau rumah sempurna jika berbentuk segi empat, yang berarti memiliki empat kesempurnaan.
Rumah bagi orang Bugis tidak sekedar tempat tinggal atau obyek materiil yang indah dan menyenangkan. Menurut Y.B Mangunwijaya, pendirian rumah tradisional Bugis lebih diarahkan kepada kelangsungan hidup manusia secara kosmis. Oleh karena itu, konstruksi rumah tradisional Bugis sangat dipengaruhi oleh pemahaman atas struktur kosmos.
Menurut pandangan hidup masyarakat Bugis zaman dahulu, alam raya ( makrokosmos ) tersusun atas tiga tingkatan, yaitu :
Alam atas ( Botting langik )
Alam tengah ( Lino )
Alam bawah ( Uriliyu )
Alam atas adalah tempat para dewa yang dipimpin oleh satu dewa tertinggi bernama “ Dewata SeuwaE “ ( Dewa Tunggal ).
Alam tengah adalah bumi yang dihuni oleh para wakil dewa tertinggi untuk mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi, serta mengatur jalannya tata tertib kosmos.
Alam bawah adalah tempat yang paling dalam yaitu berada di bawah air.
Berdasarkan pandangan hidup tersebut, maka konstruksi rumah tradisional Bugis harus terdiri tiga tingkatan, yaitu :
Rakkeang ( alam atas )
Ale Bola ( alam tengah )
Awa Bola (alam bawah )
Untuk mendirikan rumah adat Bugis, diperlukan peran seorang Sanro Bola atau dukun rumah. Sanro Bola dianggap menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah, mulai dari pemilihan lokasi dan waktu, jenis kayu, arah letak rumah, dan pengerjaan elemen-elemen atau ornamen bangunan rumah hingga pada konstruksi serta segala pelengkapnya.
Selain itu, sanro bola juga mengetahui cara-cara mengusir makhluk-makhluk halus melalui doa dan mantra-mantra. Menurut keyakinan orang Bugis, kayu yang akan ditebang untuk tiang dan tempat untuk mendirikan rumah terkadang dihuni oleh makhluk-makhluk halus dan roh-roh jahat. Oleh karena itu, penghuni rumah harus meminta bimbingan kepada seorang Sanro Bola. Jika tidak, maka si penghuni rumah kelak akan ditimpah penyakit, malapetaka, atau meninggal dunia ( Nurhayati Djamas,1998: 74 ).
Tradisi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan mendirikan rumah senantiasa mempertimbangkan keselamatan. Mereka percaya bahwa hidup selaras dan harmonis dengan tatanan kehidupan alam akan mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, dan kedamaian. Sebaliknya, manusia yang menyimpang dari tatanan dan aturan tersebut niscaya akan mendapatkan sangsi atau hukuman berupa malapetaka. Untuk itulah,mereka senantiasa menjaga keselarasan dengan alam melalui tanda-tanda atau simbol, yaitu berupa mitos asal dan upacara-upacara ritual. Menurut Waterson ( dalam Robinson, 2005: 273 ), praktik-praktik ritual tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bugis telah menyatu dengan kosmos makhluk lainnya.      











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Falsafah atau pandangan hidup secara fundamental, dipahami sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai normative ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernitas senantiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.

Pandangan hidup masyarakat bugis sangat berkaitan erat dengan adat istiadatnya. Karena bagi mereka dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin, serta dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandangan hidup bermasyarakat. Contoh adat istiadat masyarakat bugis yang mereka jadikan sebagai pandangan hidup, seperti pengaderrang, siri’ na pacce, serta rumah panggung kayu (rumah tradisional bugis). Dalam membangun rumah punggung kayu tersebut terdapat nilai-nilai atau pandangan hidup di dalamnya, setiap bagian rumah tersebut memiliki makna tertentu yang diyakini oleh masyarakat Bugis.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini, kami harapkan teman-teman dapat mengetahui dan memahami tentang pandangan hidup masyarakat bugis.






DAFTAR PUSTAKA
Mappangara, Suriadi ; Ensiklo Sejarah Sulawesi Selatan ; Makassar : 2004
Laica Marzuki, Muhammad ; Siri’ Bagian Dari Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar ; Bandung Universitas Padjajaran : 1995
Djamas, Nurhayati ; Agama Orang Bugis ; Jakarta : 1998
Robinson, Kathry ; Tradisi Membangun Rumah Di Sulawesi Selatan ; Jakarta : 2005
www.komunitasduapitue.blogspot.com
www.sabahforum.com
www.rappang.com


Hay teman-teman Blogger !!!


Kebetulan saya berasal dari suku bugis, kali ini saya akan men-share peribahasa bugis !!!! mungkin kalian berpikiran "EMANG GUE TAU ARTINYA !!!!". tenang aja teman-teman, kali ini saya jg akan men-share artinya dalam dua bahasa kok !!!
Peribahasa ini mungkin memang berasal dari suku saya, yaitu suku bugis namun makna dari peribahasa ini Univesal kok jadi bisa menjadi pegangan hidup bagi kita semua.



Let's chek it out !!!!

  • Narekko maeloko madeceng rijama-jamammu, attangako ri batekellae, aja muolai batekellae sigaru-garue, tuttungi batekella makessing’e tumpukna
kalau ingin berhasil dalam pekerjaanmu, amatilah jejak-jejak, jangan mengikuti jejak yang simpan siur, tetapi ikutilah jejak yang baik urutanya.

if you want to be success in your job, observe the experiencedo not follow the experience of the confiusing, but follow the experience  of good order.

Meaning :


jejak yang simpan siur adalah jejak orang yang tidak tentu arah tujuan. Jejak yang baik urutannya adalah jejak orang yang berhasil dalam kehidupan sukses tidak dapat diraih dengan semangat saja melainkan harus dibarengi dengan tujuan yang pasti dan jalan yang benar.

the confusing experience is a trail that is not necessarily the direction of the goalGood experience sequence is successful footsteps of success in life can not be achieved with the spirit alone but must be coupled with a definite purpose and the right path.




  • Tuppui nateri, turungi namacawa.





Mendaki dia menangis, menurun dia tertawa

Climb
 he cried, dropping he laughed.

Meaning :


Setiap keadaan ada timbal baliknya. Ada dua hal yang silih berganti dalam kehidupan. Maka bersiaplah menghadapi kemungkinan itu. Jangan sombong jika sedang merasakn kebahagiaan, karena nanti akan merasakan kesedihan juga. Demikian pula sebaliknya jangan terlalu bersedih jika mendapatkan masalah, karena disitulah awal kebahagiaan.

Every situation there is reciprocal. There are two things that come and go in lifeSo be prepared to face that possibilityDo not be arrogant if it you get happiness, because later you will feel sadness tooLikewise do not be too sad if you get into troublebecause it is the beginning of happiness.




  • Sadda mappabutti ada’, ada’ mappabutti gau’, gau’ mappabutti tau



Bunyi mewujudkan kata, kata menandakan perbuatan, perbuatan menunjukkan manusia.

Sound embodies the wordthe word signifies the actiondeed shows human’s character

Meaning :


Kedudukan dan peranan orang bugis ditentukan dari perbuatan bukan dari nama yang bersangkutan. Dengan kata lain, kata dan perbuatan seseorang akan menentukan derajat nilai seseeorang dalam masyarakat.

Position and function of the Buginess are determined from their action, not form their name . In other wordsa person's words and actions will determine the degree of a person's value in the society.

  • Alai cedde risesena engkae mappadeceng, sampeanngi megae risesena eangkae maega makkasolang

Ambil yang sedikit, jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan. Tolak yang banyak, jika yang banyak itu mendatangkan keburukan.

Take a littleif it brings the goodness . Refuse the lotif it brings a lot of badness.

Meaning :


Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya termasuk perbuatan “mappasitinaja” (kepatutan). Kewajiaban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan merupakan perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh kepatutan, kepantasan dan kelayakan.

Taking something from its place and put something in place including action ”mappasitinaja” (propriety). Obligation are dedicated obtain equal rights is worthy of treatmentA lot or a little is not questioned by decencypropriety and feasibility.

  • Siri’e mi rionroang rilino.

Hanya untuk rasa malu kita tinggal didunia.

Just a shame we live in the world.

Meaning :


Dalam pepatah ini ditekankan bahwa “siri’e” sebagai identitas dan martabat pada orang bugis. Dan jika memiliki martabat itu, hidup menjadi berarti.

In this proverb emphasized that "siri'e" as the identity and dignity of the Bugis peopleAnd if you have the dignitylife becomes meaningless.


Refrences
Ana ogi, 008 Pribahasa Bugis, retrieved from: htpp//Ana Ogi™Sipakatau  Sipakalebbi  Sipakainge  Sipatokkong  Siparappe.html.

http//translate.google.co.id/#en/id/

Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Fourth Edition (Oxford University Press, 2008)

Abdul hakim, 2
014. Translation task: english education student TBI 4, semester VI, Translation 1. STAIN Watampone, Bone


Kamis, 15 Januari 2015

Rumus Tenses

Hay teman-teman !!!! susah ngga belajar tenses ?????
tenang aja !!! kali ini saya akan memposting gmna cara kuasain tenses dengan mudah !!!!!!!


Rumus Tenses Yaitu dengan Seven Nucleus atau dengan pekawinan tenses :

  1. Nominal sentence         = BE + 3 Complement
  2. Passive Voice              = BE + V3 (past participle)
  3. Continous                    = BE + V-ING (present Participle)
  4. Future                          = Will  + V1 (bare invinitive)
  5. Perfect                         = Have + V3 ( Past Participle)
  6. Present                        = Bare invinitive / Aditional invinitive
  7. Past Tens                     =V2 (past Tenses)
tau ngga gmna cara membentuk tenses dengan muda dari rumus diatas ???

tenanga aja !!! ini caranya !!!!!!!!!!

Contoh perkawinan tenses :



Udah ngerti kan ??? jafi untuk tenses yang lainnya !!! cara seperti itu kok !!! 

Sabtu, 10 Januari 2015

Perbandingan Filsafat Politik Aristoteles Dengan Pandangan islam



Pemikiran Politik Aristoteles

Politik, sejatinya sangat berkaitan dengan hal-hal kenegaraan. Ini berarti bahwa bila kita berbicara politik, tak bisa lepas dari pembicaraan mengenai negara. Aristoteles sendiri, melahirkan karya besar di bidang ketatanegaraan Karya-karya tersebut di antaranya berisi mengenai asal mula negara, bentuk-bentuk negara, dan hak milik.
Bagi Aristoteles, kemunculan sebuah negara tak terlepas dari watak politik manusia. Makhluk bernama manusia disebutnya sebagai zoon politicon, yaitu makhluk yang berpolitik. Atau yang paling sering terdengar: human is an animal rational (manusia adalah hewan yang berpikir). Oleh karena tabiat itu, maka pada negaralah manusia mempraktekkan watak politik tersebut.
Selain itu, negara juga lahir dikerenakan sifat sederhana manusia; saling membutuhkan. Sudah bukan “barang baru” lagi di telinga kita, bahwa manusia tak bisa hidup menyendiri. Ia diharuskan hidup bersama (collective actions) untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Aristoteles beranggapan bahwa idealnya sebuah negara, tidak terlalu luas, tapi tidak pula terlalu kecil. Jika terlampau luas, dikhawatirkan akan sulit mengkordinir negara tersebut. Sedang bila terlalu kecil, suatu negara sulit mempertahankan diri, sehingga berakibat mudah dikuasai pihak asing.
Baginya, sebuah negara sangatlah mulia. Sebab tujuan dibentuknya negara adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan orang per orangan. Pada taraf ini ia sependapat dengan Plato yang mengutuk sikap individualistis. Dengan mensejahterakan masyarakat seluruhnya, Aristoteles berpendapat bahwa kesejahteraan individu dengan sendirinya terpenuhi.
Namun yang namanya target tetaplah target, ia tak dapat sepenuhnya tercapai. Ada negara yang berhasil, akan tetapi tak jarang pula yang gagal mencapai tujuannya. Negara yang baik adalah yang dapat mencapai tujuannya, sedangkan negara yang buruk adalah sebaliknya: yang tidak dapat mencapai tujuan. Kegagalan sebuah negara menurut Aristoteles, dapat disebabkan oleh bentuk negara itu sendiri.
Dan dalam menetapkan kriteria bentuk negara, Aristoteles melihat dari 2 aspek. Yang pertama, jumlah orang yang memegang sebuah negara. Sedangkan yang kedua, apa tujuan dibentuknya negara tersebut.
Berdasarkan pembagian sederhana itu, Aristoteles mengklasifikasikan negara ke dalam beberapa kategori. Monarki, apabila kekuasaan dipegang satu orang dan bertujuan menciptakan kesejahteraan bersama. Menurutnya inilah bentuk terbaik atau paling ideal. Tapi bentuk penyimpangannya adalah dapat berubah menjadi tirani, yaitu kekuasaan dipegang satu orang dan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
Selanjutnya, yang menurut Aristoteles paling memungkinkan adalah demokrasi atau politea (polis). Ini yang juga membuat ia berbeda dengan Plato. Plato tidak memberikan alternatif lain selain bentuk yang dipimpin seorang philosopher-king. Politea berarti pemerintahan yang kekuasaanya dipegang rakyat banyak dan bertujuan menciptakan kesejahteraan bersama.
Kemudian ialah Aristokrasi: dikuasai beberapa orang dan bertujuan mencapai kesejahteraan bersama. Namun ini juga dapat menyimpang menjadi oligarki: dikuasai beberapa orang dan bertujuan bukan untuk kesejahteraan bersama. Kekuasaannya semata-mata hanya untuk kepentingan kelompok penguasa.
Mengenai hak milik, Aristoteles bertentangan dengan Plato. Ia “menghalalkan” hak individu. Alasannya masuk akal: untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.


Sekilas tentang Filsafat Politik Islam

Muhammad Taqi Misbah Yazdi

JIKA kita hendak membuat perbandingan yang seimbang antara pandangan Islam dengan pandangan-pandangan lain dalam bidang politik dan bentuk pemerintahan, kita harus mempertimbangkan isu-isu penting dalam filsafat politik, dan setiap isu yang ditemukan dalam Islam, sambil membandingkannya dengan isu-isu yang lain. Kita harus melakukan pengamatan yang seksama tentang perbedaan-perbedaan mendasar di antara isu-isu tersebut. Dengan sangat singkat, pada kesempatan ini kita akan menyebutkan beberapa isu dan menjelaskan pandangan-pandangan Islam sambil merujuk pada isu-isu tersebut agar kita bisa membuat suatu perbandingan.
Isu yang pertama adalah pentingnya kehidupan sosial. Islam, sebagaimana mazhab pemikiran yang lain, menekankan pentingnya kehidupan sosial. Namun lebih daripada itu, Islam menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar. Perhatian ini begitu pentingnya sehingga kadang-kadang kita harus mengorbankan semua harta bahkan mempertaruhkan nyawa sendiri demi menyelamatkan orang lain dari berbagai ancaman dan gangguan yang bersifat lahiriah atau batiniah, dari kesesatan dan kerusakan spiritual, dan dari kemalangan di akhirat. Nampaknya sejauh ini tidak ada mazhab pemikiran lain selain Islam yang telah mengajukan pemikiran ini. Tentu saja, kita percaya bahwa tidak ada agama samawi yang saling bertentangan dalam hal prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang mendasar. Lazimnya, semuanya memiliki pandangan yang sama dengan Islam.
Isu yang kedua adalah diperlukannya hukum dalam kehidupan sosial, karena tak ada masyarakat yang bisa bertahan hidup tanpa adanya peraturan dan ketentuan sosial. Jika tidak, masyarakat akan terjatuh dalam kekacauan, keburukan, dan kerusakan. Pandangan Islam tentang masalah ini juga jelas, dan tidak mengundang pertanyaan untuk penjelasan lebih lanjut. Namun demikian, kita perlu menyebutkan dua hal pokok. Yang pertama adalah bahwa dari perspektif Islam, tujuan hukum bukan hanya untuk menciptakan peraturan dan disiplin sosial, namun lebih dari itu adalah untuk menjaga keadilan sosial; karena, pertama, tanpa keadilan peraturan tersebut tidak akan bertahan dan pada umumnya, manusia selamanya tidak akan bisa menerima ketidakadilan dan penindasan; dan yang kedua, dalam masyarakat yang tidak diperintah dengan keadilan, kebanyakan orang tidak akan memperoleh kesempatan untuk menikmati kemajuan dan pembangunan yang diinginkan, dan karenanya tujuan penciptaan manusia tidak akan terwujud.
Hal pokok yang lainnya adalah bahwa dari sudut pandang Islam, hukum-hukum sosial harus bisa mempersiapkan landasan dan kondisi yang mendukung perkembangan spiritual dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling tidak, hukum-hukum sosial tidak boleh bertentangan dengan perkembangan spiritual, karena dalam pandangan Islam, kehidupan di dunia ini tak lain adalah suatu tahap persinggahan dalam keseluruhan rangkaian kehidupan manusia, yang singkat masanya namun memiliki peran yang fundamental bagi nasib manusia. Artinya, dalam masa inilah manusia dengan perilaku sadarnya harus mempersiapkan dirinya untuk memperoleh kebahagiaan atau siksa abadi. Bahkan jika suatu hukum bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas.
Isu yang ketiga adalah bagaimana dan oleh siapa hukum tersebut harus disahkan. Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas hukum tersebut
Pertama-tama, teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa tujuan dari hukum adalah untuk memuaskan kebutuhan masyarakat, bukan untuk memberikan sesuatu yang benar-benar akan menguntungkan mereka. Kedua, karena mustahil diperoleh kesepakatan yang bulat, kita harus cukup puas dengan pendapat mayoritas. Namun demikian, tujuan hukum untuk memuaskan kebutuhan masyarakat ini tidak diterima oleh Islam, karena banyak orang yang ingin memuaskan instink kebinatangannya dan nafsu sesaat tanpa memikirkan konsekuensinya yang begitu mengerikan.
Biasanya jumlah orang-orang seperti itu paling tidak setengah plus satu, sehingga hukum-hukum sosial didikte oleh hasrat orang-orang seperti itu.
Jelas bahwa mazhab-mazhab yang percaya pada tujuan-tujuan di luar nafsu binatang dan hasrat yang hina tersebut tidak akan bisa menerima pemikiran ini.
Berkenaan dengan pemikiran yang kedua, yaitu keabsahan pengambilan suara mayoritas pada saat tidak tercapai kesepakatan yang bulat, harus dikatakan bahwa hanya pada saat tidak adanya ketetapan ketuhanan dan kriteria ilmiah sajalah suara mayoritas bisa dijadikan kriteria untuk menetapkan suatu keputusan. Namun demikian, dalam sistem Islam, kriteria ketuhanan dan ilmiah semacam itu ada. Selain itu, biasanya kalangan minoritas yang memiliki kekuasaan, dengan menggunakan berbagai fasilitas untuk menebar propaganda, mempunyai peranan yang penting dalam menghubungkan berbagai pemikiran dan keyakinan orang lain, dan memang pada kenyataannya apa yang ditetapkan hanyalah kehendak dari minoritas yang terbatas namun berkuasa, bukanlah kehendak yang sesungguhnya dari semua orang atau mayoritas. Lebih jauh lagi, jika kriterianya adalah bahwa pilihan masyarakat tersebut akan sesuai untuk mereka sendiri, mengapa kita tidak juga menerima bahwa pilihan suatu kelompok minoritas juga sesuai untuk dirinya sendiri, walaupun hal tersebut akan menyebabkan munculnya sejenis otonomi? Dalam hal ini, apa yang menjadi justifikasi logis bagi pemerintah-pemerintah dalam menentang keinginan beberapa kelompok sosial yang mereka kuasai dengan paksa!?
Berkaitan deengan permasalahan ini, dari sudut pandang Islam, hukum-hukum harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin memperoleh kebahagiaan abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu harus disahkan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang manfaat yang sejati dan sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak mengorbankan manfaat bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang sia-sia. Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana daripada Tuhan Yang Mahakuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas hamba-hamba-Nya atau apa yang mereka lakukan, dan yang telah menetapkan ketentuan ketuhanan hanya demi memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya itu. Tentu saja, hukum-hukum sosial yang digambarkan dalam kitab-kitab yang diturunkan dari langit itu tidak secara eksplisit menyatakan semua ketentuan sosial yang berlaku di semua tempat dan waktu. Namun demikian, hukum agama memberikan kerangka umum yang bisa menjadi sumber penetapan peraturan yang diperlukan, berkaitan dengan perbedaan waktu dan tempat. Jadi, paling tidak dengan mencermati batasan-batasan yang ditetapkan oleh kerangka umum ini, mungkin keterjatuhan ke jurang kebinasaan abadi bisa dihindari.
Isu yang keempat adalah siapa yang harus memberlakukan hukum sosial. 
Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.
Jelas bahwa ada dua kualifikasi fundamental bagi mereka yang bertugas menerapkan hukum, terutama bagi yang berada di puncak piramida kekuasaan: pertama, pengetahuan yang memadai dari hukum tersebut untuk menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan; dan yang kedua, kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah keinginan yang disengaja untuk menerapkan hukum secara salah. Kualifikasi yang lain, seperti kepandaian administratif, keberanian, dan sebagainya, bisa dianggap sebagai syarat pendukung. Lazimnya, yang ideal adalah bahwa orang yang menjalankan hukum tersebut harus secara umum tanpa ketidaktahuan, keegoisan, dan yang sejenisnya, dan ia adalah orang yang dalam termonologi religius disebut sebagai maksum (terlepas dari dosa). Semua umat Islam percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad saw dan penganut Syi'ah juga percaya pada kemaksuman para Imam as. Pada saat orang yang maksum tidak ada, dalam memilih pemimpin dan posisi di bawahnya dalam hirarki pemerintahan secara proporsional, kriteria semacam ini harus ditepati sejauh mungkin.
Pada dasarnya, landasan dari konsep Wilayat-e Faqih (lit., penjagaan jurisprudensi yang memenuhi semua persyaratan yang diperlukan) adalah suatu proposisi bahwa seseorang yang mendekati derajat kemaksuman harus menempati posisi orang yang maksum, yaitu pada posisi puncak piramida kekuasaan, sehingga posisi ini bisa ditempati oleh orang yang paling memiliki pengetahuan tentang hukum dan peraturan dan dasar-dasar fundamentalnya, orang yang paling memiliki ketakwaan dan kontrol diri. Dengan kedua syarat dasar ini (jurisprudensi dan ketakwaan) nampaknya paling tidak ia tidak akan secara sengaja atau tidak sengaja, melanggar hukum Islam.
Hal lain yang bisa dibahas di sini adalah bahwa dari sudut pandang Islam tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Mahakuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak siapa pun dan apa pun hanyalahTuhan Yang Mahaesa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak dengan hukum-hukum-Nya. Jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa tidak akan pernah mengizinkan siapa pun untuk menjalankan hukum tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum-hukum-Nya, atau tanpa jaminan kebenaran dari tindakannya dan kepatuhannya pada hukum-hukum ketuhanan, atau tanpa ketakwaan, dan kualifikasi moral yang memadai.
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa kecuali bagi para Nabi dan penerus mereka yang terpilih (Imam maksum; ed.), tidak ada orang lain yang secara khusus ditunjuk oleh Tuhan untuk menjalankan hukum dan untuk memerintah. Jadi, manusia harus berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi dan para Ma'shumin (orang-orang yang maksum). Nampaknya cara yang terbaik adalah dengan menyeleksi para ahli agama yang terpercaya (para ahli hukum yang takwa), lalu meminta mereka untuk memilih yang terbaik di antara mereka sendiri, karena para ahli bisa memilih orang yang terbaik dengan lebih tepat.
Cara penyelesaian seperti itu akan lebih aman dari terpilihnya orang yang lemah, baik secara disengaja atau tidak disengaja.
Juga jadi jelas bahwa bentuk politik Islam diturunkan dari elemen-elemen dasar pandangan dunia Islam dan pandangannya terhadap manusia. Artinya, penekanan pada sifat adil suatu hukum dan keselarasannya dengan peningkatan spiritual manusia berasal dari pandangan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan semua umat manusia agar manusia itu bisa mengikuti jalan peningkatan diri menuju kedekatan dengan Tuhan dan kebahagiaan abadi melalui keutamaan budi pekerti dalam kehidupan. Hak manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan untuk menikmati anugerah yang ada di dunia ini adalah agar semuanya bisa menapaki jalan peningkatan diri dengan cara yang lebih baik dan lebih cepat. Penerapan hukum-hukum ketuhanan dan prinsip-prinsip agama, baik jika diterapkan untuk individu atau untuk masyarakat adalah untuk menentukan landasan utama bagi jalan ini. Keahlian dalam bidang hukum dan ketakwaan selain kualifikasi administratif yang lainnya adalah untuk menjamin tercapainya kemajuan masyarakat secara umum, untuk mencapai kebahagiaan abadi, dan untuk mencegah penyimpangan yang disengaja 





Perbandingannya
Dari hasil pengamatan kami, kami menemukan beberapa kesamaan dan perbedaan dari pemikiran aristoteles dengan pandangan islam mengenai Filsafat politik yaitu :
Kesamaannya :
1. Dalam pemikiran aristoteles mengenai politik yaitu politik hanya sekedar untuk kepentingan sebuah Negara untuk pengaturan masyarakat yang berada dalam suatu Negara tersebut agar tidak ada pelanggaran hukum. Begitu pula dengan pandangan islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.
2. Aristoteles berpendapat, bahwa dalam sebuah Negara harus memiliki pemimpin, apabila kekuasaan dipegang satu orang dan bertujuan menciptakan kesejahteraan bersama. Begitu pula dalam pandangan islam.
3. Aristoteles juga berpikiran paling memungkinkan adalah demokrasi atau politea (polis). Ini yang juga membuat ia berbeda dengan Plato. Menurut aristoteles kekuasaanya dipegang rakyat banyak dan bertujuan menciptakan kesejahteraan bersama. Begitu pula dalam islam yang menganjurkan bahwa demokrasi karena mustahil diperoleh kesepakatan yang bulat, kita harus cukup puas dengan pendapat mayoritas. Namun demikian, tujuan hukum untuk memuaskan kebutuhan masyarakat ini tidak diterima oleh Islam, karena banyak orang yang ingin memuaskan instink kebinatangannya dan nafsu sesaat tanpa memikirkan konsekuensinya yang begitu mengerikan. Biasanya jumlah orang-orang seperti itu paling tidak setengah plus satu, sehingga hukum-hukum sosial didikte oleh hasrat orang-orang seperti itu.
Perbedaanya :
1. Dalam pelaksanaan politik, aristoteles menekan pentingnya ke tujuan Negara tersebut, menurut aristoteles Ada negara yang berhasil, akan tetapi tak jarang pula yang gagal mencapai tujuannya. Negara yang baik adalah yang dapat mencapai tujuannya, sedangkan negara yang buruk adalah sebaliknya: yang tidak dapat mencapai tujuan. Kegagalan sebuah negara menurut Aristoteles, dapat disebabkan oleh bentuk negara itu sendiri. Bedah halnya dengan pandangan islam. Dalam pelaksanaan politik, islam menekan pentingnya pada etika dalam berpolitik karna jika tidak, masyarakat akan terjatuh dalam kekacauan, keburukan, dan kerusakan.