Kamis, 15 Januari 2015

Rumus Tenses

Hay teman-teman !!!! susah ngga belajar tenses ?????
tenang aja !!! kali ini saya akan memposting gmna cara kuasain tenses dengan mudah !!!!!!!


Rumus Tenses Yaitu dengan Seven Nucleus atau dengan pekawinan tenses :

  1. Nominal sentence         = BE + 3 Complement
  2. Passive Voice              = BE + V3 (past participle)
  3. Continous                    = BE + V-ING (present Participle)
  4. Future                          = Will  + V1 (bare invinitive)
  5. Perfect                         = Have + V3 ( Past Participle)
  6. Present                        = Bare invinitive / Aditional invinitive
  7. Past Tens                     =V2 (past Tenses)
tau ngga gmna cara membentuk tenses dengan muda dari rumus diatas ???

tenanga aja !!! ini caranya !!!!!!!!!!

Contoh perkawinan tenses :



Udah ngerti kan ??? jafi untuk tenses yang lainnya !!! cara seperti itu kok !!! 

Sabtu, 10 Januari 2015

Perbandingan Filsafat Politik Aristoteles Dengan Pandangan islam



Pemikiran Politik Aristoteles

Politik, sejatinya sangat berkaitan dengan hal-hal kenegaraan. Ini berarti bahwa bila kita berbicara politik, tak bisa lepas dari pembicaraan mengenai negara. Aristoteles sendiri, melahirkan karya besar di bidang ketatanegaraan Karya-karya tersebut di antaranya berisi mengenai asal mula negara, bentuk-bentuk negara, dan hak milik.
Bagi Aristoteles, kemunculan sebuah negara tak terlepas dari watak politik manusia. Makhluk bernama manusia disebutnya sebagai zoon politicon, yaitu makhluk yang berpolitik. Atau yang paling sering terdengar: human is an animal rational (manusia adalah hewan yang berpikir). Oleh karena tabiat itu, maka pada negaralah manusia mempraktekkan watak politik tersebut.
Selain itu, negara juga lahir dikerenakan sifat sederhana manusia; saling membutuhkan. Sudah bukan “barang baru” lagi di telinga kita, bahwa manusia tak bisa hidup menyendiri. Ia diharuskan hidup bersama (collective actions) untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Aristoteles beranggapan bahwa idealnya sebuah negara, tidak terlalu luas, tapi tidak pula terlalu kecil. Jika terlampau luas, dikhawatirkan akan sulit mengkordinir negara tersebut. Sedang bila terlalu kecil, suatu negara sulit mempertahankan diri, sehingga berakibat mudah dikuasai pihak asing.
Baginya, sebuah negara sangatlah mulia. Sebab tujuan dibentuknya negara adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan orang per orangan. Pada taraf ini ia sependapat dengan Plato yang mengutuk sikap individualistis. Dengan mensejahterakan masyarakat seluruhnya, Aristoteles berpendapat bahwa kesejahteraan individu dengan sendirinya terpenuhi.
Namun yang namanya target tetaplah target, ia tak dapat sepenuhnya tercapai. Ada negara yang berhasil, akan tetapi tak jarang pula yang gagal mencapai tujuannya. Negara yang baik adalah yang dapat mencapai tujuannya, sedangkan negara yang buruk adalah sebaliknya: yang tidak dapat mencapai tujuan. Kegagalan sebuah negara menurut Aristoteles, dapat disebabkan oleh bentuk negara itu sendiri.
Dan dalam menetapkan kriteria bentuk negara, Aristoteles melihat dari 2 aspek. Yang pertama, jumlah orang yang memegang sebuah negara. Sedangkan yang kedua, apa tujuan dibentuknya negara tersebut.
Berdasarkan pembagian sederhana itu, Aristoteles mengklasifikasikan negara ke dalam beberapa kategori. Monarki, apabila kekuasaan dipegang satu orang dan bertujuan menciptakan kesejahteraan bersama. Menurutnya inilah bentuk terbaik atau paling ideal. Tapi bentuk penyimpangannya adalah dapat berubah menjadi tirani, yaitu kekuasaan dipegang satu orang dan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
Selanjutnya, yang menurut Aristoteles paling memungkinkan adalah demokrasi atau politea (polis). Ini yang juga membuat ia berbeda dengan Plato. Plato tidak memberikan alternatif lain selain bentuk yang dipimpin seorang philosopher-king. Politea berarti pemerintahan yang kekuasaanya dipegang rakyat banyak dan bertujuan menciptakan kesejahteraan bersama.
Kemudian ialah Aristokrasi: dikuasai beberapa orang dan bertujuan mencapai kesejahteraan bersama. Namun ini juga dapat menyimpang menjadi oligarki: dikuasai beberapa orang dan bertujuan bukan untuk kesejahteraan bersama. Kekuasaannya semata-mata hanya untuk kepentingan kelompok penguasa.
Mengenai hak milik, Aristoteles bertentangan dengan Plato. Ia “menghalalkan” hak individu. Alasannya masuk akal: untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.


Sekilas tentang Filsafat Politik Islam

Muhammad Taqi Misbah Yazdi

JIKA kita hendak membuat perbandingan yang seimbang antara pandangan Islam dengan pandangan-pandangan lain dalam bidang politik dan bentuk pemerintahan, kita harus mempertimbangkan isu-isu penting dalam filsafat politik, dan setiap isu yang ditemukan dalam Islam, sambil membandingkannya dengan isu-isu yang lain. Kita harus melakukan pengamatan yang seksama tentang perbedaan-perbedaan mendasar di antara isu-isu tersebut. Dengan sangat singkat, pada kesempatan ini kita akan menyebutkan beberapa isu dan menjelaskan pandangan-pandangan Islam sambil merujuk pada isu-isu tersebut agar kita bisa membuat suatu perbandingan.
Isu yang pertama adalah pentingnya kehidupan sosial. Islam, sebagaimana mazhab pemikiran yang lain, menekankan pentingnya kehidupan sosial. Namun lebih daripada itu, Islam menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar. Perhatian ini begitu pentingnya sehingga kadang-kadang kita harus mengorbankan semua harta bahkan mempertaruhkan nyawa sendiri demi menyelamatkan orang lain dari berbagai ancaman dan gangguan yang bersifat lahiriah atau batiniah, dari kesesatan dan kerusakan spiritual, dan dari kemalangan di akhirat. Nampaknya sejauh ini tidak ada mazhab pemikiran lain selain Islam yang telah mengajukan pemikiran ini. Tentu saja, kita percaya bahwa tidak ada agama samawi yang saling bertentangan dalam hal prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang mendasar. Lazimnya, semuanya memiliki pandangan yang sama dengan Islam.
Isu yang kedua adalah diperlukannya hukum dalam kehidupan sosial, karena tak ada masyarakat yang bisa bertahan hidup tanpa adanya peraturan dan ketentuan sosial. Jika tidak, masyarakat akan terjatuh dalam kekacauan, keburukan, dan kerusakan. Pandangan Islam tentang masalah ini juga jelas, dan tidak mengundang pertanyaan untuk penjelasan lebih lanjut. Namun demikian, kita perlu menyebutkan dua hal pokok. Yang pertama adalah bahwa dari perspektif Islam, tujuan hukum bukan hanya untuk menciptakan peraturan dan disiplin sosial, namun lebih dari itu adalah untuk menjaga keadilan sosial; karena, pertama, tanpa keadilan peraturan tersebut tidak akan bertahan dan pada umumnya, manusia selamanya tidak akan bisa menerima ketidakadilan dan penindasan; dan yang kedua, dalam masyarakat yang tidak diperintah dengan keadilan, kebanyakan orang tidak akan memperoleh kesempatan untuk menikmati kemajuan dan pembangunan yang diinginkan, dan karenanya tujuan penciptaan manusia tidak akan terwujud.
Hal pokok yang lainnya adalah bahwa dari sudut pandang Islam, hukum-hukum sosial harus bisa mempersiapkan landasan dan kondisi yang mendukung perkembangan spiritual dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling tidak, hukum-hukum sosial tidak boleh bertentangan dengan perkembangan spiritual, karena dalam pandangan Islam, kehidupan di dunia ini tak lain adalah suatu tahap persinggahan dalam keseluruhan rangkaian kehidupan manusia, yang singkat masanya namun memiliki peran yang fundamental bagi nasib manusia. Artinya, dalam masa inilah manusia dengan perilaku sadarnya harus mempersiapkan dirinya untuk memperoleh kebahagiaan atau siksa abadi. Bahkan jika suatu hukum bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas.
Isu yang ketiga adalah bagaimana dan oleh siapa hukum tersebut harus disahkan. Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas hukum tersebut
Pertama-tama, teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa tujuan dari hukum adalah untuk memuaskan kebutuhan masyarakat, bukan untuk memberikan sesuatu yang benar-benar akan menguntungkan mereka. Kedua, karena mustahil diperoleh kesepakatan yang bulat, kita harus cukup puas dengan pendapat mayoritas. Namun demikian, tujuan hukum untuk memuaskan kebutuhan masyarakat ini tidak diterima oleh Islam, karena banyak orang yang ingin memuaskan instink kebinatangannya dan nafsu sesaat tanpa memikirkan konsekuensinya yang begitu mengerikan.
Biasanya jumlah orang-orang seperti itu paling tidak setengah plus satu, sehingga hukum-hukum sosial didikte oleh hasrat orang-orang seperti itu.
Jelas bahwa mazhab-mazhab yang percaya pada tujuan-tujuan di luar nafsu binatang dan hasrat yang hina tersebut tidak akan bisa menerima pemikiran ini.
Berkenaan dengan pemikiran yang kedua, yaitu keabsahan pengambilan suara mayoritas pada saat tidak tercapai kesepakatan yang bulat, harus dikatakan bahwa hanya pada saat tidak adanya ketetapan ketuhanan dan kriteria ilmiah sajalah suara mayoritas bisa dijadikan kriteria untuk menetapkan suatu keputusan. Namun demikian, dalam sistem Islam, kriteria ketuhanan dan ilmiah semacam itu ada. Selain itu, biasanya kalangan minoritas yang memiliki kekuasaan, dengan menggunakan berbagai fasilitas untuk menebar propaganda, mempunyai peranan yang penting dalam menghubungkan berbagai pemikiran dan keyakinan orang lain, dan memang pada kenyataannya apa yang ditetapkan hanyalah kehendak dari minoritas yang terbatas namun berkuasa, bukanlah kehendak yang sesungguhnya dari semua orang atau mayoritas. Lebih jauh lagi, jika kriterianya adalah bahwa pilihan masyarakat tersebut akan sesuai untuk mereka sendiri, mengapa kita tidak juga menerima bahwa pilihan suatu kelompok minoritas juga sesuai untuk dirinya sendiri, walaupun hal tersebut akan menyebabkan munculnya sejenis otonomi? Dalam hal ini, apa yang menjadi justifikasi logis bagi pemerintah-pemerintah dalam menentang keinginan beberapa kelompok sosial yang mereka kuasai dengan paksa!?
Berkaitan deengan permasalahan ini, dari sudut pandang Islam, hukum-hukum harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin memperoleh kebahagiaan abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu harus disahkan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang manfaat yang sejati dan sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak mengorbankan manfaat bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang sia-sia. Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana daripada Tuhan Yang Mahakuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas hamba-hamba-Nya atau apa yang mereka lakukan, dan yang telah menetapkan ketentuan ketuhanan hanya demi memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya itu. Tentu saja, hukum-hukum sosial yang digambarkan dalam kitab-kitab yang diturunkan dari langit itu tidak secara eksplisit menyatakan semua ketentuan sosial yang berlaku di semua tempat dan waktu. Namun demikian, hukum agama memberikan kerangka umum yang bisa menjadi sumber penetapan peraturan yang diperlukan, berkaitan dengan perbedaan waktu dan tempat. Jadi, paling tidak dengan mencermati batasan-batasan yang ditetapkan oleh kerangka umum ini, mungkin keterjatuhan ke jurang kebinasaan abadi bisa dihindari.
Isu yang keempat adalah siapa yang harus memberlakukan hukum sosial. 
Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.
Jelas bahwa ada dua kualifikasi fundamental bagi mereka yang bertugas menerapkan hukum, terutama bagi yang berada di puncak piramida kekuasaan: pertama, pengetahuan yang memadai dari hukum tersebut untuk menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan; dan yang kedua, kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah keinginan yang disengaja untuk menerapkan hukum secara salah. Kualifikasi yang lain, seperti kepandaian administratif, keberanian, dan sebagainya, bisa dianggap sebagai syarat pendukung. Lazimnya, yang ideal adalah bahwa orang yang menjalankan hukum tersebut harus secara umum tanpa ketidaktahuan, keegoisan, dan yang sejenisnya, dan ia adalah orang yang dalam termonologi religius disebut sebagai maksum (terlepas dari dosa). Semua umat Islam percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad saw dan penganut Syi'ah juga percaya pada kemaksuman para Imam as. Pada saat orang yang maksum tidak ada, dalam memilih pemimpin dan posisi di bawahnya dalam hirarki pemerintahan secara proporsional, kriteria semacam ini harus ditepati sejauh mungkin.
Pada dasarnya, landasan dari konsep Wilayat-e Faqih (lit., penjagaan jurisprudensi yang memenuhi semua persyaratan yang diperlukan) adalah suatu proposisi bahwa seseorang yang mendekati derajat kemaksuman harus menempati posisi orang yang maksum, yaitu pada posisi puncak piramida kekuasaan, sehingga posisi ini bisa ditempati oleh orang yang paling memiliki pengetahuan tentang hukum dan peraturan dan dasar-dasar fundamentalnya, orang yang paling memiliki ketakwaan dan kontrol diri. Dengan kedua syarat dasar ini (jurisprudensi dan ketakwaan) nampaknya paling tidak ia tidak akan secara sengaja atau tidak sengaja, melanggar hukum Islam.
Hal lain yang bisa dibahas di sini adalah bahwa dari sudut pandang Islam tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Mahakuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak siapa pun dan apa pun hanyalahTuhan Yang Mahaesa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak dengan hukum-hukum-Nya. Jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa tidak akan pernah mengizinkan siapa pun untuk menjalankan hukum tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum-hukum-Nya, atau tanpa jaminan kebenaran dari tindakannya dan kepatuhannya pada hukum-hukum ketuhanan, atau tanpa ketakwaan, dan kualifikasi moral yang memadai.
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa kecuali bagi para Nabi dan penerus mereka yang terpilih (Imam maksum; ed.), tidak ada orang lain yang secara khusus ditunjuk oleh Tuhan untuk menjalankan hukum dan untuk memerintah. Jadi, manusia harus berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi dan para Ma'shumin (orang-orang yang maksum). Nampaknya cara yang terbaik adalah dengan menyeleksi para ahli agama yang terpercaya (para ahli hukum yang takwa), lalu meminta mereka untuk memilih yang terbaik di antara mereka sendiri, karena para ahli bisa memilih orang yang terbaik dengan lebih tepat.
Cara penyelesaian seperti itu akan lebih aman dari terpilihnya orang yang lemah, baik secara disengaja atau tidak disengaja.
Juga jadi jelas bahwa bentuk politik Islam diturunkan dari elemen-elemen dasar pandangan dunia Islam dan pandangannya terhadap manusia. Artinya, penekanan pada sifat adil suatu hukum dan keselarasannya dengan peningkatan spiritual manusia berasal dari pandangan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan semua umat manusia agar manusia itu bisa mengikuti jalan peningkatan diri menuju kedekatan dengan Tuhan dan kebahagiaan abadi melalui keutamaan budi pekerti dalam kehidupan. Hak manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan untuk menikmati anugerah yang ada di dunia ini adalah agar semuanya bisa menapaki jalan peningkatan diri dengan cara yang lebih baik dan lebih cepat. Penerapan hukum-hukum ketuhanan dan prinsip-prinsip agama, baik jika diterapkan untuk individu atau untuk masyarakat adalah untuk menentukan landasan utama bagi jalan ini. Keahlian dalam bidang hukum dan ketakwaan selain kualifikasi administratif yang lainnya adalah untuk menjamin tercapainya kemajuan masyarakat secara umum, untuk mencapai kebahagiaan abadi, dan untuk mencegah penyimpangan yang disengaja 





Perbandingannya
Dari hasil pengamatan kami, kami menemukan beberapa kesamaan dan perbedaan dari pemikiran aristoteles dengan pandangan islam mengenai Filsafat politik yaitu :
Kesamaannya :
1. Dalam pemikiran aristoteles mengenai politik yaitu politik hanya sekedar untuk kepentingan sebuah Negara untuk pengaturan masyarakat yang berada dalam suatu Negara tersebut agar tidak ada pelanggaran hukum. Begitu pula dengan pandangan islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.
2. Aristoteles berpendapat, bahwa dalam sebuah Negara harus memiliki pemimpin, apabila kekuasaan dipegang satu orang dan bertujuan menciptakan kesejahteraan bersama. Begitu pula dalam pandangan islam.
3. Aristoteles juga berpikiran paling memungkinkan adalah demokrasi atau politea (polis). Ini yang juga membuat ia berbeda dengan Plato. Menurut aristoteles kekuasaanya dipegang rakyat banyak dan bertujuan menciptakan kesejahteraan bersama. Begitu pula dalam islam yang menganjurkan bahwa demokrasi karena mustahil diperoleh kesepakatan yang bulat, kita harus cukup puas dengan pendapat mayoritas. Namun demikian, tujuan hukum untuk memuaskan kebutuhan masyarakat ini tidak diterima oleh Islam, karena banyak orang yang ingin memuaskan instink kebinatangannya dan nafsu sesaat tanpa memikirkan konsekuensinya yang begitu mengerikan. Biasanya jumlah orang-orang seperti itu paling tidak setengah plus satu, sehingga hukum-hukum sosial didikte oleh hasrat orang-orang seperti itu.
Perbedaanya :
1. Dalam pelaksanaan politik, aristoteles menekan pentingnya ke tujuan Negara tersebut, menurut aristoteles Ada negara yang berhasil, akan tetapi tak jarang pula yang gagal mencapai tujuannya. Negara yang baik adalah yang dapat mencapai tujuannya, sedangkan negara yang buruk adalah sebaliknya: yang tidak dapat mencapai tujuan. Kegagalan sebuah negara menurut Aristoteles, dapat disebabkan oleh bentuk negara itu sendiri. Bedah halnya dengan pandangan islam. Dalam pelaksanaan politik, islam menekan pentingnya pada etika dalam berpolitik karna jika tidak, masyarakat akan terjatuh dalam kekacauan, keburukan, dan kerusakan.

PANDANGAN HIDUP MASYARAKAT BUGIS

Makalah
KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah,puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Atas berkat rahmat dan hidayahnyalah sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.Salawat dan salam tak lupa pula kita kirimkan kepada Nabiyullah Muhammad S.A.W.,yaitu nabi yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam terang-benderang.
         
Dalam makalah ini,kami belajar tentang Pandangan Hidup Masyarakat Bugis,agar kami tidak ketinggalan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pandangan hidup orang bugis, apalagi kita selaku masyarakat bugis.Maka dengan adanya makalah ini,kami harapkan teman-teman sekalian agar benar-benar mempelajarinya dengan baik.
  Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih kurang dari kesempurnaan, karena sebagai manusia biasa pasti memiliki kekurangan.Apabila pada butir-butir kata atau kalimat ada yang tidak sesuai,mohon dimaklumi.Semua kritik dan saran kami terima dengan senang hati. Akhir kata, semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi pembaca.              
                                                                 
  Watampone, 22 November 2011

                                                                       

                                                                                                           




( Penulis )      

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR  ……………………………………………………………….
DAFTAR ISI  ………………………………………………………………………..
       
BAB I. PENDAHULUAN
A.Latar belakang  ……………………………………………………………………
B.Rumusan masalah  ………………………………………………………………..

       BAB II. PEMBAHASAN
A.Pengderreng  ………………………………………………………………………
B.Siri’ na Pacce  ……………………………………………………………………..
C.Rumah Panggung Kayu  ……………………………………………………………

        BAB III. PENUTUP
A.Kesimpulan  ………………………………………………………………………
B.Saran…………………………………………………………………………………


DAFTAR PUSTAKA  ……………………………………………………………….













BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
        Falsafah atau pandangan hidup secara fundamental, dipahami sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai normative ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernitas senantiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.
         Setiap daerah atau suku pasti memiliki pandangan hidup masing-masing dengan berpedoman kepada adat istiadatnya. Untuk itu, pada kesempatan ini kami menyusun makalah yang berjudul pandangan hidup masyarakat bugis. Karena kami selaku masyarakat bugis, tidak sahlah jika kami tidak mengetahui seluk beluk masyarakat bugis itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
         Mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Seperti apakah pandangan hidup masyarakat bugis ?
2. Apakah pandangan hidup masyarakat bugis berkaitan erat dengan adat istiadatnya ?
3. Apakah pandangan hidup itu akan terus eksistensi ? Dan faktor apa yang akan membuatnya terus eksistensi ?






BAB II
PEMBAHASAN
                Falsafah atau pandangan hidup masyarakat orang bugis sangat berkaitan erat dengan adat istiadatnya. Karena bagi mereka dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin, serta dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandangan hidup bermasyarakat. Contoh adat istiadat masyarakat bugis yang mereka jadikan sebagai pandangan hidup, seperti pengaderrang, siri’ na pacce, serta rumah panggung kayu (rumah tradisional bugis). Dalam membangun rumah punggung kayu tersebut terdapat nilai-nilai atau pandangan hidup di dalamnya, setiap bagian rumah tersebut memiliki makna tertentu yang diyakini oleh masyarakat Bugis. Berikut penjelasannya secara terperinci.
A. Pengaderrang
Pengaderrang sebagai pandangan hidup masyarakat bugis. Masyarakat bugis di masa lampau telah memiliki sederet nama orang bijak yang banyak mengajari masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini tercermin melalui catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia bugis sejak dahulu, merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan secara dikotomik dari pengamalan aplikatif pengaderrang.
           Makna pengaderrang dalam konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana sesorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan hidup. Demikian melekat kentalnya nilai ini di kalangan orang Bugis, sehingga dianggap berdosa jika tidak melaksanakannya.
          Dalam konteks ini, inklusif di dalamnya ade’ (ada, Makasssar) atau adat istiadat, yang berfungsi sebagai pandangan hidup (way of life) dalam membentuk pola pikir dan mengatur pola tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu, dalam sistem sosial masyarakat Bugis, dikenal ade’ (adat), rapang (undang-undang), dan bicara (bicara atau ucapan), serta sara atau hukum berlandaskan ajaran agama.

1. Asas pengaderrang
          Pengamalan secara aplikasi implementatif, pengaderrang sebagai falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4(empat) asas sekaligus pilar yakni :
1) Asas mappasilassae
Yakni memanifestasikan ade’ bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku memperlakukan dirinya dalam pengaderrang.
2) Mappasisaue
Yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Asas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen.
3) Mappasenrupae
Yakni mengamalkan ade’ bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang.
4) Mappalaiseng
Yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar tehindar dari masalah (chaos) dan instabilitas lainnya.
2. Eksistensi nilai pengaderrang
         Pentingnya peran adat (ade’) sebagai falsafah hidup, diantaranya tercermin melalui kalimat : ”Maradeka To WajoE Adenami Napopuang” (hanya tanah atau negeri yang abadi yang siempunya tanah merdeka semua, hanya adat yang mereka pertuan). Hal ini sejak lama menjadi prinsip dan kewajiban dalam kontrak social antar Arung Matowa (raja) dengan rakyatnya.
        Eksisnya nilai sosio kultural yang terkandung dalam pengaderang, sehingga tetap bertahan dan menjadi pandangan hidup manusia Bugis disebabkan dua faktor :
1) Bagi manusia Bugis yang telah menerima adat secara total dalam kehidupan sosial budaya atau lainnya, konsisten atau percaya dengan teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin.
2) Implementasi dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandanga hidup bermasyarakat.

            Falsafah orang bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola perilaku, sebagian dapat kita temukan melalui “Lontarak Pammulanna Wajo” yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung : “Padecengiwi bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e, Gau-gau lalo tengnga-e, Pari tenggai bicara ri tengnga-e”. Pesan ini bermakna perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat, gerak langkah sederhana atau tidak angkuh dan tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah, tidak melebihi, tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya.
            Uraian mengenai pesan Puang ri Maggalatung tersebut pada gilirannya menjadi pedoman hidup orang bugis dalam beraktivitas. Dalam kehidupan bermasyarakat Bugis Wajo, mengenal konsep :
Sipakatau (memanusiakan sesama)
Sipakalebbi (saling memuliakan)
Sipakainge (saling mengingatkan)
B. Siri’ na Pacce
1. Pengertian Siri’ na Pacce
Nilai filosofis siri’ na pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis Makassar.
Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tanah Toraja) ada sebuah istilah yang mencerminkan identitas serta watak orang Sulawesi selatan, yaitu Siri’ na Pacce.
Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Pengertian Siri’ na Pacce Laica Marzuki (1995) pernah menyebut dalam disertasinya bahwa Pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri menentukan ada tidaknya Siri’.
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral. Siri’ na Pacce (bahasa Makassar) atau Siri’ na Pesse (bahasa Bugis) adalah dua kata yang tidak dapat di pisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apa bila seseorang kehilangan Siri’nya (de’ni gaga siri’na), maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu “sirupai olo’ kolo-e” (seperti binatang). Petuah Bugis berkata “Siri’mi na rituo” (karena malu kita hidup).
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam (dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan). Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain.
Sedangkan Pacce / Pesse merupakan konsep yang membuat suku ini mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan diperantauan serta disegani. Pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras.
2. Asal mula Siri’ na Pacce
Menurut Iwata (Peneliti dari Jepang), pada mulanya, Siri’ na Pacce merupakan sesuatu yang berkaitan kawin lari. Yakni jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan Siri’ dan membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan kemudian disebut “Tumasiri”, yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari). Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya yang kemudian disebut abajik. Jika ini belum dilakukan, maka status Tumasiri tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika abajik sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari tadi secara hukum adat sudah terlindungi.
Inti budaya Siri’ na Pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena Siri’ na Pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah dan ideology Siri’ na Pacce, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka menjadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.
Konsep Siri’ na Pacce bukan hanya dikenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghunu daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideology dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi.
3. Jenis-jenis Siri’
Zainal Abidin Farid (1983) membagi Siri’ dalam dua jenis :
1) Siri’ nipakasiri’
Yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak, ia akan disebut mate siri’ (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya daripada hidup tanpa Siri’.
Mereka terkenal di mana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut “Mate nigollai, Mate nisantangi” artinya mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.
2) Siri’ masiri’
Yaitu pandangan hidup yang bermaksud mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok.
Ada ungkapan bugis  “Narekko sompe’ko, aja muancaji ana’guru, ancaji punggawako” (kalaukamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin).
4. Nilai-nilai Siri’ na Pacce
Nilai filosofis Siri’ na Pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan.
Nilai etis Siri’ na Pacce terdapat nilai-nilai etis meliputi :
1) Teguh pendirian
2) Setia
3) Tahu diri
4) Berkata jujur
5) Bijak
6) Merendah
7) Ungkapan sopan untuk sang gadis
8) Cinta kepada orang tua ,dan
9) Empati
Nilai estetis Siri’ na Pacce meliputi :
1) Nilai estetis siri’ na pacce alam non insan, terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan alam hewani.
2) Nilai estetis siri’ na pace alam insane.
5. Etos Siri’ na Pacce
Sultan Hasanuddin
Di dalam sebuah syair sinrilik ada sebuah semboyan kuno masyarakat Bugis Makassar yang berbunyi “ Takunjunga banging turu, nakugunciri gulingku, kualleangga tallanga natoalia “. Syair tersebut berarti, Layarku telah ku kembangkan, kemudiku telah kupasang, kupilih tenggelam dari pada melangkah surut. Semboyan tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis Makassar memiliki tekad dan keberanian yang begitu tinggi dalam menghadapi kehidupan. Masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai orang-orang yang suka merantau atau mendatangi daerah lain dan sukses di daerah tersebut.
Yang membuat orang  Bugis-Makassar dikenal sebagai pribadi yang pemberani dan tangguh serta dapat sukses di daerah sendiri atau daerah yang didatanginya tiada lain adalah etos Siri’ na Pacce. Para pemimpin yang berasal dari  tanah Bugis-Makassar menerapkan etos ini sebagai gaya kepemimpinan mereka.
Siapa yang tidak kenal dengan Sultan Hasanuddin. Beliau adalah raja Gowa XVI. Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah berani melawan penjajah Belanda.
Syek Yusuf
Adapula putra Bugis-Makassar yang bernama Syek Yusuf. Walaupun putra asli Bugis-Makassar, beliau lebih dikenal sebagai penyebar agama Islam di beberapa Negara seperti Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di Negara benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan. Bahkan menjadi semacam acara kenegaraan.
C. Rumah Panggung Kayu  
Rumah panggung kayu adalah salah satu rumah tradisional Bugis yang berbentuk persegi empat memanjang ke belakang. Konstruksi bangunan rumah ini di buat secara lepas-pasang (knock down) sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Konsep empat persegi panjang ini, bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman dahulu tentang bagaimana memahami alam semesta secara universal. Dalam falsafah dan pandangan hidup mereka terdapat istilah “ Sulapa’ Eppa “ yang berarti persegi empat, yaitu sebuah pandangan dunia empat sisi yang bertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal dalam mengenali dan mengatasi kelemahan manusia ( Elizabeth Morell,2005 :204 ). Menurut mereka, segala sesuatu baru dikatakan sempurna dan lengkap jika memiliki Sulapa’ Eppa. Demikian pula pandangan mereka tentang rumah, yaitu sebuah rumah akan dikatakan “ Bola Genne’ “ atau rumah sempurna jika berbentuk segi empat, yang berarti memiliki empat kesempurnaan.
Rumah bagi orang Bugis tidak sekedar tempat tinggal atau obyek materiil yang indah dan menyenangkan. Menurut Y.B Mangunwijaya, pendirian rumah tradisional Bugis lebih diarahkan kepada kelangsungan hidup manusia secara kosmis. Oleh karena itu, konstruksi rumah tradisional Bugis sangat dipengaruhi oleh pemahaman atas struktur kosmos.
Menurut pandangan hidup masyarakat Bugis zaman dahulu, alam raya ( makrokosmos ) tersusun atas tiga tingkatan, yaitu :
Alam atas ( Botting langik )
Alam tengah ( Lino )
Alam bawah ( Uriliyu )
Alam atas adalah tempat para dewa yang dipimpin oleh satu dewa tertinggi bernama “ Dewata SeuwaE “ ( Dewa Tunggal ).
Alam tengah adalah bumi yang dihuni oleh para wakil dewa tertinggi untuk mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi, serta mengatur jalannya tata tertib kosmos.
Alam bawah adalah tempat yang paling dalam yaitu berada di bawah air.
Berdasarkan pandangan hidup tersebut, maka konstruksi rumah tradisional Bugis harus terdiri tiga tingkatan, yaitu :
Rakkeang ( alam atas )
Ale Bola ( alam tengah )
Awa Bola (alam bawah )
Untuk mendirikan rumah adat Bugis, diperlukan peran seorang Sanro Bola atau dukun rumah. Sanro Bola dianggap menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah, mulai dari pemilihan lokasi dan waktu, jenis kayu, arah letak rumah, dan pengerjaan elemen-elemen atau ornamen bangunan rumah hingga pada konstruksi serta segala pelengkapnya.
Selain itu, sanro bola juga mengetahui cara-cara mengusir makhluk-makhluk halus melalui doa dan mantra-mantra. Menurut keyakinan orang Bugis, kayu yang akan ditebang untuk tiang dan tempat untuk mendirikan rumah terkadang dihuni oleh makhluk-makhluk halus dan roh-roh jahat. Oleh karena itu, penghuni rumah harus meminta bimbingan kepada seorang Sanro Bola. Jika tidak, maka si penghuni rumah kelak akan ditimpah penyakit, malapetaka, atau meninggal dunia ( Nurhayati Djamas,1998: 74 ).
Tradisi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan mendirikan rumah senantiasa mempertimbangkan keselamatan. Mereka percaya bahwa hidup selaras dan harmonis dengan tatanan kehidupan alam akan mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, dan kedamaian. Sebaliknya, manusia yang menyimpang dari tatanan dan aturan tersebut niscaya akan mendapatkan sangsi atau hukuman berupa malapetaka. Untuk itulah,mereka senantiasa menjaga keselarasan dengan alam melalui tanda-tanda atau simbol, yaitu berupa mitos asal dan upacara-upacara ritual. Menurut Waterson ( dalam Robinson, 2005: 273 ), praktik-praktik ritual tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bugis telah menyatu dengan kosmos makhluk lainnya.      











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Falsafah atau pandangan hidup secara fundamental, dipahami sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai normative ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernitas senantiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.

Pandangan hidup masyarakat bugis sangat berkaitan erat dengan adat istiadatnya. Karena bagi mereka dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin, serta dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandangan hidup bermasyarakat. Contoh adat istiadat masyarakat bugis yang mereka jadikan sebagai pandangan hidup, seperti pengaderrang, siri’ na pacce, serta rumah panggung kayu (rumah tradisional bugis). Dalam membangun rumah punggung kayu tersebut terdapat nilai-nilai atau pandangan hidup di dalamnya, setiap bagian rumah tersebut memiliki makna tertentu yang diyakini oleh masyarakat Bugis.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini, kami harapkan teman-teman dapat mengetahui dan memahami tentang pandangan hidup masyarakat bugis.






DAFTAR PUSTAKA
Mappangara, Suriadi ; Ensiklo Sejarah Sulawesi Selatan ; Makassar : 2004
Laica Marzuki, Muhammad ; Siri’ Bagian Dari Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar ; Bandung Universitas Padjajaran : 1995
Djamas, Nurhayati ; Agama Orang Bugis ; Jakarta : 1998
Robinson, Kathry ; Tradisi Membangun Rumah Di Sulawesi Selatan ; Jakarta : 2005
www.komunitasduapitue.blogspot.com
www.sabahforum.com
www.rappang.com


Senin, 05 Januari 2015

Evaluation and Testing in ESP

Literally, the word of evalution means that decide on the valueor quality of something[1] Stufflebeam, dkk (1971) define the evaluation is The process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatives[2]. While according to Arikunto (2003) define the evaluation is a part of activities that have purpose to measure how deep the result in course program[3].
Evaluation is intergral part of the teaching process and it has some pre-course and off-course functions, such as appropriately placing students or certifying that they have reached certain level of profiency. But the main role of an evaluation in instructional programs is measure achivement that is to see how and wheter students have mastered course materials, and to identify areas where they need additional help.
Huthinson and waters (1987:144) claim that there are two level of evaluation in ESP, Learners assesment and course evaluation and both have similiar function in providing feedback on the ESP. Learner assesment is to asses the learners performance at the beginning and at the end of course. The result of this kind of evaluation provide valuable information for the institution, sponsor, teachers, and learner to make decision wheter and how much language financial support  is required. The course evaluation is the evaluation of ESP course it self. It helps to assess wheter the course objectives are being met and whether the course is doing what it was designed to do. The information gathered forms the starting point for any necessary revison of the course and may help to guide the design other similiar courses.
Simiarly, Robinson (1991) comment thet with regard to ESP programs, a course assesment is seeking to establish the effectiveness and afficiency of teaching programs which can be distinguished in to formative and summative evaluation. Formative evaluation is carried out during the life of a course or a project and the results obtained can be used to modify what is being done. In  contrast, summative evaluation is carried out when the course or project is finished and when it is clearly to late to do any appropriate changes. Decision will be taken as to whether to repeat the course or not, whether the money has been well spent or not.
A primary issue in any course evaluatin or test is what to avaluate, since this will largely determine how students view their learning objectives. Brinton, Snow and Wesches (1989:185-186) catogorized the “what to evaluate” as follows:
a.       Knowladge of elements of the linguistic code : e.g., pronounciation, sentence mechanics, relevant vocabulary, grammatical forms and patterns, word order.
b.      Knowladge of discourse ; organizational patterns, specialized vocabulary, and other conventions appropriate to the type of content baing taught, including different oral and writing genres.
c.       Interactive communication skill: ability to communicate affectively in face to face situation in the clasroom and in the other context of eventual use, including comprehension and the use of paralinguistic and non linguistic cues.
d.      Academic language use skill : ability to analyze and manipulate academic content trough language; critical thinking.
e.       Related study skill; efficient not taking, ability to use the library, refrencing skill for research papers, use of non verbal material in reading, and timing management.

A.    Planning a test
Before making a test, a tester needs to know some steps of test planning as well as stage and consideration in developing a language test.
1.      Step of testing
a.       To determine the purpose of the test
In determaine the purpose we have decide the purpose before such as profiency, achivement, diagnostic or placement. In a result of course there are four purposes may be there[4] :
-          To repare the assesment or the process of study (formative)
-          To decide the succes of student in course (summative)
-          To identify the students’ problems in a course (diagnostic)
-          To place the student what level they are suitable.
b.      To specify the objective of the test : what is to measure
c.       To define the content area of the test : performance or skill.
d.      To determine the relative weight of the different parts of the test : oral/writen, performance/skill, fluency/accuracy and etc.
e.       To determine what testing method and procedure to use in order to tap the objectives and content : rol play, simulation and etc.

Table stage and consideration in developing a language test
Phase I
Purpose
Determining the porpose of the test
The tester decide on why he is testing and what he will use the result for
Phase II
Planning
Planning the test with the aid of table spesification
The tester consider the objective of the test as they relate to what will be tasted.
Phase III
Items/tasks
Selecting the test items and task
The tester choose among various testing procedure.
Phase IV
Administering
Administering the test
the tester consider a systematic administration in the appropriate testing condition and gives the test.
Phase V
Scoring/Rating
Scorring and rating
The tester avaluate the quality of the language sample according to certain criteria
Phase VI
Analysis
Analyzing the test and its items and task
The tester analyzes the whole thest as well as the spesific items and task.
Phaase VII
Reporting
Reporting the test result
The tester convert the raw testing scores into meaningful information for reporting to the specific audience.


2.      Determine the purpose of a test
a.       Proficiency
Evaluation of person’s language knowladge in relation to future language use. It doesn’t necessarily depend on what has been learned before in given course.
b.      Achivement
To evaluate the test-taker’s language in rlation to a given curiculum or material which the test-taker had gone through in a given course
c.       Diagnostic
To identify the test-taker’s strength and weakness in thye language.
d.      Plecement
To evaluate the test-taker’s language knolwladge in relation curriculum of diferent level of the future language course.
e.       Entarance
To evaluate the test-taker’s language in relation to the language needed in a future course.
f.       Mastery
To evaluate the test-taker’s language in relation to spesific.     

B.     Testing Oral Ability
1.      Problem in testing oral ability
The basic problem in testing oral ability arise in setting task that objectively represent oral task which the candidates are expected be able to perfom.
      In setting the task, spesification for oral at the intermediate lavel may involve the following language functions :

a.       Content
Expressing       : thanks, requirements, opnion, attitude
Narrating         : events and sequnce of event
Eliciting           : information, direction, etc
Directing         : ordering, instructing, advising, etc
Reporting        : description, comment/views, decision
Text type        :  dialogues and multi-participant interaction normally of a face to face nature.

b.      Central level of performance
Accuracy        : clearly intelligible pronounciatio, although influenced by learners.
Appropriacy   : use of language generally approproate to the function. The overal intention of the speaker is always clear
Range             : a fair lavel of language is avalaible to the candidate. He is able to express himself without overtly seacrhing words.
Flexibility       : is able to take initiative in a conversation and to adapt to new topics of changes of direction.
Size                 : most constribution may be short but some evidence of ability to produce more complex utterance.
c.       Format
Interview        : the interview is the most obvious and the most common format for testing oral interaction.
Interaction
With peers      : two or more candidate may be asked to discuss a topic, make plans, comment on a picture, etc. While this makes it easier for the tester to assess the candidate’ more objectively, the performance of one candidate is likely to be affected by that of the others.
Responding
To tape-
recording        : uniformity of elicitation can be achieved through presenting all with the same audio or video recorder stimuli.

2.      Planning and conducting oral tests
a.       Make the oral test 15-30 minute long to get enough reliable information about the candidate’ oral communication ability.
b.      include as wide a sample of specified content as possible in the time available.
c.       Plan the test carefully. It would be mistake to begin an interview with no more than a general idea of the course that it might take.
d.      Give the candidate an opportunity to use more than one format, interact with more than one tester, and tackle separate.
e.       Select interviewers carefully and train them with video-recording of interviews.
f.       Ideally, have to testers present at each interview. This makes the judgment more reliable.
g.      Set topicand task that would cause candidates no problem in their own language.
h.      Carry out the interview in a quaite room with good acoustics.
i.        Put candidates at ease.
j.        Collect enough relevant information to help you to make a fair and comperenhensive assesment of the candidate’s oral ability.
k.      Do not talk too much ! elicit and let candidates do much of talking.

C.    Elicitation techniques
Elicitation is a technique by which the teacher gets the learners to give information rather than giving it to them[5]. So elicitation technique gives more chance to students to express theirselves. The kinds of elicitation techniques :
1.      Question and request for information
Avoid or use only a few ‘yes/no question’ and quikly pass on to information question to elicit various function.
2.      Picture
Use single picture fo elicitation description and picture series for elicitation of naration.
3.      Role-play
You can ask candidates to assume a role in particular situation. Use several short situation as this will help you to elicit a variety of language situations.
4.      Discussion
Discussion between candidates can be valuable source of information. They may be asked to discuss a given topic to arrive at a dicision or point of view.
5.      Tape-recorder stimuli
This is ideal for use in the language lab as a large number of candidate can be tested at the same time. For this you can use description of situations, remarks in isolation to respond to stimulated conversation, and conversation completion with script.
6.      Imitation
Candidates hear a series of sentence each of which they have to repeat.



D.    Testing Writing
There are many steps you can take to ensure that your test is more effective and that test writing becomes a learning experience such as The elements of a good test, Validity of a test, Reliability of a test, The affect of tests, Other features of a good test, Assessing difficulty and Conclusion[6].

Writing involve five general components :
a.       Content                 : the substance of the writing; the ideas expressed
b.      Form                      : the organization of the content
c.       Grammar               : the correct use of syntatic patterns and sturtural words
d.      Style                      : the choice of appropriate struture and lexical items to give a particular flavor or tone to the writing.
e.       Mechanics             : the use of the graphic conversation of the language

1.      Objective test versus composition/essay-task test
while assesment in a problem, composition test are superior to objective test for the folloeing reason :
a.       Composition test require students to organize their own ideas expressed in their own words.
b.      Composition test motivate students to improve their writing with appropriate feedback from their teacher.
c.       It take less time and effort to prepare a composition test
d.      Student may cover up weakness by avoiding problems

2.      Item types
a.       Recognition item
1.      Dictation               : teacher read some sentence and the student ask to write what teacher says.
2.      Multiple choise      : this item to test punctuation, spelling etc.
b.      Production items
The kinds of production items are like taking notes, making list, filling forms, writing short message, etc
3.      Points to note
a.       Arrange to take several sample not only one sample
b.      Set writing task
c.       Make the writing task clearly and spesific and provide full diretions
d.      Allow for alternative and the use of variety of forms
e.       Apportion marks for the various component
f.       Ensure objectivity in scoring.

4.      An anatical rating scale for evaluation written language
a.       Content (maximum score 30)
-          30- 27                   : excelent to very good (knowladgeable, subtantive and imaginative)
-          26-22                    : good to everage (some knowladge of sucject, imagination, adequate range.)
-          21-17                    : fair to poor ( limited knowladge of subject, little subtance)
-          16-13                    : very poor ( doesn’t show any knowladge of subject/ imagination, not subtantive, etc)
b.      Organization (maximum score 20)
-          20-18                    : excelent to very good ( fluent expession, ideas clearly stated, etc)
-          17-14                    : good to average ( somewhat choppy, loosely organized but main ideas stand out)
-          13-10                    : fair to poor ( not fluent, ideas confused or disconnected)
-          9 -7                       : very poor ( doesn’t communicate, no organization)
c.       Vocabulary (maximum score 20)
-          20- 18                   : excelent to very good (sophisticated range, effective word choise and usage, etc)
-          17-14                    : good to everage (eduquate range, occusional errors of word, etc)
-          13-10                    : fair to poor ( limited range, frequent errors of word/idiom form, etc)
-          9 - 7                      : very poor ( essentially translation, little knowladge of english vocabulary)
d.      Language use (maximum score 25)
-          25- 22                   : excelent to very good (efective complex construction)
-          21-19                    : good to everage (effective but simplem constructions)
-          18-11                    : fair to poor ( major problems in simple/complex contructions)
-          10 - 5                    : very poor ( virtually no mastery of sentence constructional rules)
e.       Mechanics (maximum score 5 )
-          5               : excelent to very good (demonstrates mastery of conventions)
-          4               : good to everage (occasional errors of spelling punctation)
-          3               : fair to poor ( frequent errorss of spelling, punctuation)
-          2               : very poor ( no mastery conventions dominated by errors of spelling, punctuation capitalization pragraphing, etc)

5.      A holistic rating for evaluating written language

SCORE
HOLISTIC ASSESMENT
0 – 9
Just an attempt
10 – 29
Some language barely comprehensible
Not fully communicative
30 – 39
More than barely comprhensible; only simplest most basic language produced
40 – 59
Comprehensible
Has some gramatical, lexical or syntactic problems
Communicative but erorrs, etc
60 – 69
Communicative
Awarness of sociolinguistic aspect
Good syntax
Idiomatic language, etc
70 – 79
Near native; sporadic errors
80 – 100
Native; like production

E.     Testing Reading Comprehension
            Some of the skills and sub-skills that should be tested in Reading Comprehension are the students’ abilitiy:
a.       To guess meanings of word/expressions from context
b.      To predict what the text or messages are about, baset on initial input
c.       Identify the main idea (s)
d.      To identify specific details
e.       To make inferences
f.       To ideantify sequence of events, ideas, etc.
g.      To differentiete between relevant and irrelevant information
h.      To differentiate fact and opinion
i.        To differentiate between reality and fantasy
j.        To recognise/transfer the information
k.      To perform a task using the information in the text.
1.      Points to consider
While testing students for reading comperhension, the following points should be born in mind.
a.       Select different forms and styles of writing (stories,letters, dialogues,diaries,articles,repots, etc.
b.      While selecting/constructing items,include some authentic tsks the test-taker will have to do in real life.
c.       Do not attempt to look for many questions for each text; for most short to medium text only a few relevant questions are possible.
d.      Try to use many short texts in a variety of forms and on a variety offorms and on a variety of topics with a few questions on each, rather than one long passage.
e.       Make sure that the language of the question and the instructions is clear and appropriate to the level.
f.       Do not fokus on irrelevant information.
g.      Include questions on pronominal refrence as well.



2.      Item types
a.       Recognition
Restatment , completion, question-answer
True –false
Matching sentence parts.
b.       Production
Completion
Question-answer
Cloze with wordist/word alternatives
Cloze with no clues
True –false questions with justifaction
Form /table-completion
Task performance

3.      Points to remember
a.       In constructing multiple-choice items, ensure that the stem presents the problem.
b.      Avoid questions that students can answer on the basis of
1)      Visual discrimination
2)      Word/phrase matching
3)      Outside knowledge
c.       Adept passages if necessary to ensure that there aren’t too many unfamiliar word in passage.
d.      Test both lower order and higher order skills.
e.       Use authentic materials and set appropriate tasks wherever possible.

F.     Testing Listening Comprehension
            in listening comprehension tests we primarily test the following aspects:
a.       Sound discrimination
b.      Sesitivity to sress and intonation
c.       Global comprehension
d.      Discrete-point comprehension
e.       Other aural comprehension-related subskills
f.       Taks performance

1.      Important hints in testing aural/oral skills
a.       Focus on the massage
b.      Do not test memory alone
c.       Stress authentic contexts,materials and use, as far as possible
d.      Provide sufficient context-clues
e.       Give simple, clear and unambiguous directions
f.       Try to create a non-threatening environment
g.      Avoid using unfamiliar accent

2.      Item types
a.       Recognition
-          Ticking the right word
-          Picture/word matching
-          Word in context
Example : I’II.....the needle for you
a.       Thread  b. Dread  c. Threat  d. Tread
Matching the spoken word with written meaning
Example : cota. Baby’s bed  b. Stopped and held  c. Pulled by horses  d. Small animal
b.      Comprehension
Restatement
     Student hear ‘i wish i had done what you told me to’ and choose a sentence corresponding in meaning or complete a sentence keeping the meaning intact.
Example : ‘you told me to do it but i.....’.A. don’t B. Didn’t  C.  Won’t  D. Shouldn’t

Appropriate response
     (you can use either ‘wh’ questions or ‘yes-no’ questions)
     Example : students hear ‘why are you going to jakarta in december ?’
     And choose from A,B,C, and D below
A.    At six  B. To get married  C. By bus  D. Yes, Iam
c.       Picture –spoken word correlation
d.      Identifying location /direction in diagrams
e.       Following directions/instructions
f.       Information transfer
Form filling, object placement on a picture/diagram (story-based), etc.
g.      Identfying summary/outcome of short dialogues
h.      Lecture-based note-taking

3.      Sub-skills in testing comprehension
a.       Literal recognition (reading) or recall (listening)
1)      Recognition or recall of details
2)      Recognition or recall of main ideas
3)      Recognition or recall of sequence
4)      Recognition or recall of comparison
5)      Recognition or recall of cause and effect relationship
6)      Recognition or recall of character traits
b.      Inference
1)      Inferring suporting details
2)      Inferring the main ideas
3)      Inferring squence
4)      Inferring comparisons
5)      Inferring cause and effect relationship
6)      Inferring character traits
7)      Predicting outcomes
8)      Inferring about figurative language
c.       Evaluation
1)      Judgments of reality or fantasy
2)      Judgments of fact or opinion
3)      Judgments of adequency or validity
4)      Judgments of approprateness
5)      Judgments of worth, desirability or acceptability
d.      Appreciation
1)      Emotional response to plot or theme
2)      Identification with characters and incidents
3)      Reactions to the speakers’ use of language
4)      Imagery
e.       Task performance
1)      Following directions
2)      Following instructions

G.      Testing Grammar
1.       in testing grammar there are some points to remember
a.       avoid testing only discrete items unless it is for diagnostic purpose.
b.      Use natural running contexts wherever possible.
c.       Ensure that the test includes a broad range of relevant grammatical problems in proprotions reflecting their relative importance.
d.      Avoid infreguent or invloved constructions found only in very formal writing.
e.       Do not use non-existing form.
f.       Do not have too many items of one type or on one area.
g.      Try to test grammar in context ising items like modified cloze or a dialogue-completion exercise. Either multiple choice or open ended, depending on the level of the class. These items also help you to relate the teaching and testing diagnostic or remedial purpose, use a large number of discrete items as well.

2.      item types
a.       Multiple choice
1)      Completion
Example : tim ought not to____me the story, but he did
a.       Tell   b.  Have told  c.  Be telling  d. Have been told

2)      Rearrangement
Example : complete the following by putting the letters (a,b,c,d)
For the words in the right order.
            “won’t i need a coat?”
            “well you know how___”
A.    It  B. Today  C. Warm  D. Is

3)      Recognition of right form
Which of the following is grammatical correct ?
A.    I saw him yesterday
B.     I had seen seeing him yesterday
C.     I have been seeing him yesterday
D.    I see him yesterday.

4)      Error recognition
Example : choose one word or phrase, from A,B,C,and D which would not be acceptable in standard english.

Here is a picture , a good friend of hisand I which wastaken at
A.    The   B. Beach  C. Last  D. Summer

5)      Short response
Example : I wish Mr.jacob would speak more clearly.
A.    “so do i “                           C.  “so wish I”
B.     “i wish so “                        D.  “I would I”
b.      transformation
Example :
 i have’t written to her for a long time.
It’s a long time______

c.       Writing appropriate word forms
Example : researchers.............(convince) that a cure for AIDs is nearly insight.

d.      Matching parts
Match part from A and B correctly by drawing a line

A
B
Are you going to see a film to night?
So can I
I’m fond of chocolate
no, i don’t.
How was the movie, ‘gandhi’?
are you ? i don’t care for them much my self
Do you like Mr. rajan’s class ?
yes, i probably will

I thought it was very interesting.
                                   
e.       extension
I’ve done the work. (already)
I’ve already done the work.
f.       Modified cloze –multiple choice or open ended
Testing articles : candidates are required to write the, a or NA-No article

               In the united states children go to ......school from Monday to Friday........school that hasyim goes to is very small. He walks there each morning with........friend. one morning they saw ............man throwing ............stones and ........pieces of food at..............dog..........dog was afraid of.............man.

H.    Testing Vocabulary
1.      points to consider
a.       A word acquires meaning in context and can have several meanings.
b.      A word can have several synonyms and antonims and false synonyms as well.
c.       Words are used diffrently in formal context.
d.      Learners have a larger reportoire of recognition vocabulary.
e.       Words are/ should be thought on the basis of frequency and range, and appropriateness to level.
f.       Word are often used incombination (as phrasal words, collocations, associate pairs,etc.)

2.      item types
a.       Recognition –multiple choice
Definition
Completion
Paraphrase
Picture/word matching
Parts of a whole
Elimination of non-homogenous word

b.      Production
Sentence with word list/word alternatives
Cloze with word list/word alternatives
Replacing word in context with suitable synonyms
Writing approprite forms of word, given the context.
Scrambled words.
Producing apprpriate contexts for a given word.
Using words/phrase approprite to context
Explaining meaning of word /phrase in context
Modified (certain classes)of standard cloze (every 3 or five words are deleted)

3.      poins to remember
use appropriate context/language ensure that :
a.       The correct option and the distracters are at the same level of difficulty and the same lenght, as far as possible.
b.      Instructions are simple and clear
c.       There are no synonyms among the distracters.
d.      All choice relate to the same area or activity and part of speech.
e.       You avoid tricks and traps.







Refrences
Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Fourth Edition (Oxford University Press, 2008)
NAVEL’S BLOG, 014 Pengertian Evaluasi, Pengukuran, Dan Penilaian Dalam Dunia Pendidikan retrieved from : http://navelmangelep.wordpress.com

Eka hardiyanti, dkk, 2013  Tahap Evaluasi dan Teknik Ealuasi hasil Belajar  retrieved from : http://dekha-sajalah.blogspot.com

British Council College (BBC), 2013  Elicitation Technique retrieved from : www.teachingenglish.org

M Basri Wello and Syarifuddin Dollah, Fundamental Aspect of English Spesific purpose. Makassar: Badan penerbit UNM, 2008

Abdul hakim, 014. English for Spesific Porpose task: english education student TBI 4, semester VII, English for Spesific Porpose. STAIN Watampone, Bone



[1] Oxford learner’s pocket dictionary (forth edition ) p. 151
[2] NAVEL’S BLOG, Pengertian Evaluasi, Pengukuran, Dan Penilaian Dalam Dunia Pendidikan at http://navelmangelep.wordpress.com/2012/02/14/pengertian-evaluasi-pengukuran-dan-penilaian-dalam-dunia-pendidikan/ accesed on 7th december  2014
[3] Ibid.,
[4] Eka hardiyanti, dkk, Tahap Evaluasi dan Teknik Ealuasi hasil Belajar  at http://dekha-sajalah.blogspot.com/2013/03/tahap-evaluasi-dan-teknik-evaluasi_2181.html. accesed on 7th December 2014

[5] British Council College (BBC), Elicitation Technique at www.teachingenglish.org.uk/knowledge-database/elicitation accesed on 7th December 2014
[6] British Council College (BBC), Writing Test at www.teachingenglish.org.uk/knowledge-database/elicitation accesed on 7th December 2014