Makalah
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Atas berkat rahmat dan hidayahnyalah sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.Salawat dan salam tak lupa pula kita kirimkan kepada Nabiyullah Muhammad S.A.W.,yaitu nabi yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam terang-benderang.
Dalam makalah ini,kami belajar tentang Pandangan Hidup Masyarakat Bugis,agar kami tidak ketinggalan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pandangan hidup orang bugis, apalagi kita selaku masyarakat bugis.Maka dengan adanya makalah ini,kami harapkan teman-teman sekalian agar benar-benar mempelajarinya dengan baik.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih kurang dari kesempurnaan, karena sebagai manusia biasa pasti memiliki kekurangan.Apabila pada butir-butir kata atau kalimat ada yang tidak sesuai,mohon dimaklumi.Semua kritik dan saran kami terima dengan senang hati. Akhir kata, semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi pembaca.
Watampone, 22 November 2011
( Penulis )
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..
BAB I. PENDAHULUAN
A.Latar belakang ……………………………………………………………………
B.Rumusan masalah ………………………………………………………………..
BAB II. PEMBAHASAN
A.Pengderreng ………………………………………………………………………
B.Siri’ na Pacce ……………………………………………………………………..
C.Rumah Panggung Kayu ……………………………………………………………
BAB III. PENUTUP
A.Kesimpulan ………………………………………………………………………
B.Saran…………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Falsafah atau pandangan hidup secara fundamental, dipahami sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai normative ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernitas senantiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.
Setiap daerah atau suku pasti memiliki pandangan hidup masing-masing dengan berpedoman kepada adat istiadatnya. Untuk itu, pada kesempatan ini kami menyusun makalah yang berjudul pandangan hidup masyarakat bugis. Karena kami selaku masyarakat bugis, tidak sahlah jika kami tidak mengetahui seluk beluk masyarakat bugis itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Seperti apakah pandangan hidup masyarakat bugis ?
2. Apakah pandangan hidup masyarakat bugis berkaitan erat dengan adat istiadatnya ?
3. Apakah pandangan hidup itu akan terus eksistensi ? Dan faktor apa yang akan membuatnya terus eksistensi ?
BAB II
PEMBAHASAN
Falsafah atau pandangan hidup masyarakat orang bugis sangat berkaitan erat dengan adat istiadatnya. Karena bagi mereka dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin, serta dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandangan hidup bermasyarakat. Contoh adat istiadat masyarakat bugis yang mereka jadikan sebagai pandangan hidup, seperti pengaderrang, siri’ na pacce, serta rumah panggung kayu (rumah tradisional bugis). Dalam membangun rumah punggung kayu tersebut terdapat nilai-nilai atau pandangan hidup di dalamnya, setiap bagian rumah tersebut memiliki makna tertentu yang diyakini oleh masyarakat Bugis. Berikut penjelasannya secara terperinci.
A. Pengaderrang
Pengaderrang sebagai pandangan hidup masyarakat bugis. Masyarakat bugis di masa lampau telah memiliki sederet nama orang bijak yang banyak mengajari masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini tercermin melalui catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia bugis sejak dahulu, merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan secara dikotomik dari pengamalan aplikatif pengaderrang.
Makna pengaderrang dalam konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana sesorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan hidup. Demikian melekat kentalnya nilai ini di kalangan orang Bugis, sehingga dianggap berdosa jika tidak melaksanakannya.
Dalam konteks ini, inklusif di dalamnya ade’ (ada, Makasssar) atau adat istiadat, yang berfungsi sebagai pandangan hidup (way of life) dalam membentuk pola pikir dan mengatur pola tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu, dalam sistem sosial masyarakat Bugis, dikenal ade’ (adat), rapang (undang-undang), dan bicara (bicara atau ucapan), serta sara atau hukum berlandaskan ajaran agama.
1. Asas pengaderrang
Pengamalan secara aplikasi implementatif, pengaderrang sebagai falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4(empat) asas sekaligus pilar yakni :
1) Asas mappasilassae
Yakni memanifestasikan ade’ bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku memperlakukan dirinya dalam pengaderrang.
2) Mappasisaue
Yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Asas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen.
3) Mappasenrupae
Yakni mengamalkan ade’ bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang.
4) Mappalaiseng
Yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar tehindar dari masalah (chaos) dan instabilitas lainnya.
2. Eksistensi nilai pengaderrang
Pentingnya peran adat (ade’) sebagai falsafah hidup, diantaranya tercermin melalui kalimat : ”Maradeka To WajoE Adenami Napopuang” (hanya tanah atau negeri yang abadi yang siempunya tanah merdeka semua, hanya adat yang mereka pertuan). Hal ini sejak lama menjadi prinsip dan kewajiban dalam kontrak social antar Arung Matowa (raja) dengan rakyatnya.
Eksisnya nilai sosio kultural yang terkandung dalam pengaderang, sehingga tetap bertahan dan menjadi pandangan hidup manusia Bugis disebabkan dua faktor :
1) Bagi manusia Bugis yang telah menerima adat secara total dalam kehidupan sosial budaya atau lainnya, konsisten atau percaya dengan teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin.
2) Implementasi dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandanga hidup bermasyarakat.
Falsafah orang bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola perilaku, sebagian dapat kita temukan melalui “Lontarak Pammulanna Wajo” yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung : “Padecengiwi bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e, Gau-gau lalo tengnga-e, Pari tenggai bicara ri tengnga-e”. Pesan ini bermakna perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat, gerak langkah sederhana atau tidak angkuh dan tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah, tidak melebihi, tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya.
Uraian mengenai pesan Puang ri Maggalatung tersebut pada gilirannya menjadi pedoman hidup orang bugis dalam beraktivitas. Dalam kehidupan bermasyarakat Bugis Wajo, mengenal konsep :
• Sipakatau (memanusiakan sesama)
• Sipakalebbi (saling memuliakan)
• Sipakainge (saling mengingatkan)
B. Siri’ na Pacce
1. Pengertian Siri’ na Pacce
Nilai filosofis siri’ na pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis Makassar.
Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tanah Toraja) ada sebuah istilah yang mencerminkan identitas serta watak orang Sulawesi selatan, yaitu Siri’ na Pacce.
Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Pengertian Siri’ na Pacce Laica Marzuki (1995) pernah menyebut dalam disertasinya bahwa Pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri menentukan ada tidaknya Siri’.
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral. Siri’ na Pacce (bahasa Makassar) atau Siri’ na Pesse (bahasa Bugis) adalah dua kata yang tidak dapat di pisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apa bila seseorang kehilangan Siri’nya (de’ni gaga siri’na), maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu “sirupai olo’ kolo-e” (seperti binatang). Petuah Bugis berkata “Siri’mi na rituo” (karena malu kita hidup).
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam (dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan). Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain.
Sedangkan Pacce / Pesse merupakan konsep yang membuat suku ini mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan diperantauan serta disegani. Pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras.
2. Asal mula Siri’ na Pacce
Menurut Iwata (Peneliti dari Jepang), pada mulanya, Siri’ na Pacce merupakan sesuatu yang berkaitan kawin lari. Yakni jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan Siri’ dan membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan kemudian disebut “Tumasiri”, yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari). Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya yang kemudian disebut abajik. Jika ini belum dilakukan, maka status Tumasiri tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika abajik sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari tadi secara hukum adat sudah terlindungi.
Inti budaya Siri’ na Pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena Siri’ na Pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar. Dengan adanya falsafah dan ideology Siri’ na Pacce, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka menjadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.
Konsep Siri’ na Pacce bukan hanya dikenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghunu daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideology dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi.
3. Jenis-jenis Siri’
Zainal Abidin Farid (1983) membagi Siri’ dalam dua jenis :
1) Siri’ nipakasiri’
Yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak, ia akan disebut mate siri’ (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya daripada hidup tanpa Siri’.
Mereka terkenal di mana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut “Mate nigollai, Mate nisantangi” artinya mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.
2) Siri’ masiri’
Yaitu pandangan hidup yang bermaksud mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok.
Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja muancaji ana’guru, ancaji punggawako” (kalaukamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin).
4. Nilai-nilai Siri’ na Pacce
Nilai filosofis Siri’ na Pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan.
Nilai etis Siri’ na Pacce terdapat nilai-nilai etis meliputi :
1) Teguh pendirian
2) Setia
3) Tahu diri
4) Berkata jujur
5) Bijak
6) Merendah
7) Ungkapan sopan untuk sang gadis
8) Cinta kepada orang tua ,dan
9) Empati
Nilai estetis Siri’ na Pacce meliputi :
1) Nilai estetis siri’ na pacce alam non insan, terdiri atas benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan alam hewani.
2) Nilai estetis siri’ na pace alam insane.
5. Etos Siri’ na Pacce
• Sultan Hasanuddin
Di dalam sebuah syair sinrilik ada sebuah semboyan kuno masyarakat Bugis Makassar yang berbunyi “ Takunjunga banging turu, nakugunciri gulingku, kualleangga tallanga natoalia “. Syair tersebut berarti, Layarku telah ku kembangkan, kemudiku telah kupasang, kupilih tenggelam dari pada melangkah surut. Semboyan tersebut melambangkan betapa masyarakat Bugis Makassar memiliki tekad dan keberanian yang begitu tinggi dalam menghadapi kehidupan. Masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai orang-orang yang suka merantau atau mendatangi daerah lain dan sukses di daerah tersebut.
Yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pribadi yang pemberani dan tangguh serta dapat sukses di daerah sendiri atau daerah yang didatanginya tiada lain adalah etos Siri’ na Pacce. Para pemimpin yang berasal dari tanah Bugis-Makassar menerapkan etos ini sebagai gaya kepemimpinan mereka.
Siapa yang tidak kenal dengan Sultan Hasanuddin. Beliau adalah raja Gowa XVI. Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah berani melawan penjajah Belanda.
• Syek Yusuf
Adapula putra Bugis-Makassar yang bernama Syek Yusuf. Walaupun putra asli Bugis-Makassar, beliau lebih dikenal sebagai penyebar agama Islam di beberapa Negara seperti Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di Negara benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan. Bahkan menjadi semacam acara kenegaraan.
C. Rumah Panggung Kayu
Rumah panggung kayu adalah salah satu rumah tradisional Bugis yang berbentuk persegi empat memanjang ke belakang. Konstruksi bangunan rumah ini di buat secara lepas-pasang (knock down) sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Konsep empat persegi panjang ini, bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman dahulu tentang bagaimana memahami alam semesta secara universal. Dalam falsafah dan pandangan hidup mereka terdapat istilah “ Sulapa’ Eppa “ yang berarti persegi empat, yaitu sebuah pandangan dunia empat sisi yang bertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal dalam mengenali dan mengatasi kelemahan manusia ( Elizabeth Morell,2005 :204 ). Menurut mereka, segala sesuatu baru dikatakan sempurna dan lengkap jika memiliki Sulapa’ Eppa. Demikian pula pandangan mereka tentang rumah, yaitu sebuah rumah akan dikatakan “ Bola Genne’ “ atau rumah sempurna jika berbentuk segi empat, yang berarti memiliki empat kesempurnaan.
Rumah bagi orang Bugis tidak sekedar tempat tinggal atau obyek materiil yang indah dan menyenangkan. Menurut Y.B Mangunwijaya, pendirian rumah tradisional Bugis lebih diarahkan kepada kelangsungan hidup manusia secara kosmis. Oleh karena itu, konstruksi rumah tradisional Bugis sangat dipengaruhi oleh pemahaman atas struktur kosmos.
Menurut pandangan hidup masyarakat Bugis zaman dahulu, alam raya ( makrokosmos ) tersusun atas tiga tingkatan, yaitu :
• Alam atas ( Botting langik )
• Alam tengah ( Lino )
• Alam bawah ( Uriliyu )
Alam atas adalah tempat para dewa yang dipimpin oleh satu dewa tertinggi bernama “ Dewata SeuwaE “ ( Dewa Tunggal ).
Alam tengah adalah bumi yang dihuni oleh para wakil dewa tertinggi untuk mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi, serta mengatur jalannya tata tertib kosmos.
Alam bawah adalah tempat yang paling dalam yaitu berada di bawah air.
Berdasarkan pandangan hidup tersebut, maka konstruksi rumah tradisional Bugis harus terdiri tiga tingkatan, yaitu :
• Rakkeang ( alam atas )
• Ale Bola ( alam tengah )
• Awa Bola (alam bawah )
Untuk mendirikan rumah adat Bugis, diperlukan peran seorang Sanro Bola atau dukun rumah. Sanro Bola dianggap menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah, mulai dari pemilihan lokasi dan waktu, jenis kayu, arah letak rumah, dan pengerjaan elemen-elemen atau ornamen bangunan rumah hingga pada konstruksi serta segala pelengkapnya.
Selain itu, sanro bola juga mengetahui cara-cara mengusir makhluk-makhluk halus melalui doa dan mantra-mantra. Menurut keyakinan orang Bugis, kayu yang akan ditebang untuk tiang dan tempat untuk mendirikan rumah terkadang dihuni oleh makhluk-makhluk halus dan roh-roh jahat. Oleh karena itu, penghuni rumah harus meminta bimbingan kepada seorang Sanro Bola. Jika tidak, maka si penghuni rumah kelak akan ditimpah penyakit, malapetaka, atau meninggal dunia ( Nurhayati Djamas,1998: 74 ).
Tradisi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan mendirikan rumah senantiasa mempertimbangkan keselamatan. Mereka percaya bahwa hidup selaras dan harmonis dengan tatanan kehidupan alam akan mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, dan kedamaian. Sebaliknya, manusia yang menyimpang dari tatanan dan aturan tersebut niscaya akan mendapatkan sangsi atau hukuman berupa malapetaka. Untuk itulah,mereka senantiasa menjaga keselarasan dengan alam melalui tanda-tanda atau simbol, yaitu berupa mitos asal dan upacara-upacara ritual. Menurut Waterson ( dalam Robinson, 2005: 273 ), praktik-praktik ritual tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bugis telah menyatu dengan kosmos makhluk lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Falsafah atau pandangan hidup secara fundamental, dipahami sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai normative ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernitas senantiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.
Pandangan hidup masyarakat bugis sangat berkaitan erat dengan adat istiadatnya. Karena bagi mereka dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin, serta dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandangan hidup bermasyarakat. Contoh adat istiadat masyarakat bugis yang mereka jadikan sebagai pandangan hidup, seperti pengaderrang, siri’ na pacce, serta rumah panggung kayu (rumah tradisional bugis). Dalam membangun rumah punggung kayu tersebut terdapat nilai-nilai atau pandangan hidup di dalamnya, setiap bagian rumah tersebut memiliki makna tertentu yang diyakini oleh masyarakat Bugis.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, kami harapkan teman-teman dapat mengetahui dan memahami tentang pandangan hidup masyarakat bugis.
DAFTAR PUSTAKA
Mappangara, Suriadi ; Ensiklo Sejarah Sulawesi Selatan ; Makassar : 2004
Laica Marzuki, Muhammad ; Siri’ Bagian Dari Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar ; Bandung Universitas Padjajaran : 1995
Djamas, Nurhayati ; Agama Orang Bugis ; Jakarta : 1998
Robinson, Kathry ; Tradisi Membangun Rumah Di Sulawesi Selatan ; Jakarta : 2005
www.komunitasduapitue.blogspot.com
www.sabahforum.com
www.rappang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar